*




Minggu, 22 Agustus 2010

Introduction to Food Science

By : Tulus Yudi Widodo Wibowo 

Food Science atau dalam bahasa Indonesia Ilmu Pangan adalah ilmu mempelajari struktur, kerusakan, pengemasan, penyimpanan, dan pengolahan bahan pangan. Ilmu Pangan meliputi peningkatan kuantitas dan kualitas bahan pangan secara optimum dengan memperhatikan nilai gizi dan keamanan pangan dan juga hal-hal praktis dari produksi , pengawetan, distribusi, dan penggunaan bahan pangan. Kalo begitu, perbedaan dengan ilmu gizi apa dong? Perbedaan antara food science dengan nutrition adalah, food science fokus pada makanan yang belum dikonsumsi oleh konsumen, seperti pengepakan, cara penyimpanan, dan teknik penyajian. Sedangkan ilmu gizi berfokus pada efek makanan yang telah dikonsumsi terhadap tubuh manusia. Jadi, jelas bahwa perbedaan antara food science dengan nutrition adalah food science, pangan yang belum dimakan, sedangkan nutrition, pangan yang udah dimakan. Disiplin ilmu yang dibutuhkan dalam mempelajari ilmu pangan adalah biologi, fisika, engineering, kimia, mikrobiologi, dan nutrition.
Salah satu penerapan dari ilmu pangan adalah teknik pengalengan dan pendinginan pada industri pangan. Teknik pengalengan telah dilakukan sejak tahun 1700-an. Hal ini guna membuat makanan menjadi awet dari gangguan yang membuat makanan menjadi rusak, seperti debu, kuman, dan sinar matahari. Untuk teknik pendinginan, masyarakat dunia, umumnya menggunakan kulkas atau refrigerator. Kegunaan alat ini adalah untuk membuat aktivitas metabolisme terhenti atau dalam keadaan tidur sehingga bahan pangan menjadi tidak cepat rusak, Pada tahun 1950-an, ukuran kulkas dapat sebesar lemari baju, sehingga kasur pun dapat masuk ke dalamnya jika tidak digunakan :p. Namun, pada saat ini ukuran kulkas sudah lebih manusiawi sehingga dapat dibawa-bawa kemana-mana dan tak jarang di mobil-mobil pribadi saat ini sudah terdapat kulkas. Selain kedua teknik tersebut, masih banyak penerapan-penerapan pada food science.
Bidang-bidang profesional yang berkaitan erat dengan food science:
1. Research & Development : Kita dapat menciptakan makanan baru yang sehat, murah, mudah dikonsumsi, dan enak tentunya
2. Production and Manufacturing : Kita mengetahui cara memproduksi makanan dalam sekala industri.
3. Sales and Marketing: Seseorang yang mempelajari food science dapat mengetahui teknik penjualan dan pemasaran yang tepat agar dapat dibeli konsumen.
4. Advertising and Merchandising : mempelajari teknik pengiklanan sehingga masyarakat mau membeli produk pangan yang telah dibuat seperti menggunakan artis-artis atau orang-orang yang berpengaruh.
5 .Regulatory Issue : Mengetahui peraturan apa saja yang berkaitan dengan pangan baik secara nasional maupun internasional
6. Environmental Issue : Mengetahui isu-isu lingkungan dan mencari solusinya melalui bidang pangan.

Mungkin itu adalah perkenalan tentang Ilmu pangan. Terus terang, saya bukanlah ahli atau mahasiswa di jurusan ilmu pangan yang pandai-pandai amat yang dapat mengalahkan Dosen. hehehehehe......
Hanya saja, saya ingin berbagi ilmu yang didapat dari salah seorang dosen  dan mata kulaih yang saya dapatkan....heheheeehe.
Jika ada kesalahan, mohon langsung dikoreksi. Semoga bermanfaat ^^v

Kerusakan Bahan Pangan dan Penanggulangannya

By : Tulus Yudi Widodo Wibowo

Bahan Pangan yang ada di seluruh dunia tidak ada yang berada dalam kondisi yang sama seperti pada saat dibuat atau diracik setelah beberapa hari. Bahan pangan tersebut akan mengalami kerusakan. Secara formal, bahan pangan yang rusak adalah bahan pangan yang menunjukkan suatu penyimpangan yang melewati batas yang dapat diterima oleh panca indera dan parameter lain yang biasa digunakan. Misalakan kacang hijau yang rusak adalah kacang hijau yang kering dan menjadi tepung. Ada lim jenis kerusakan yang dialami oleh suatu bahan pangan:
  1. Kerusakan fisik
    Kerusakan yang diakibat perubahan melalui porses fisika seperti pemanasan, pendinginan, dan tekanan udara.
  2. Kerusakan mekanik
    Kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan mekanis seperti tertekan, terbanting, tergesek, dan sebagainya.
  3. Kerusakan biologi
    Kerusakan ini biasanya disebabkan oleh makhluk makroorganisme seperti tikus, burung, dan serangga.
  4. Kerusakan kimia
    Kerusakan karena reaksi kimia seperti penurunan pH, proses rigor, dan reaksi reduksi dan oksidasi.
  5. Kerusakan mikrobiologi
    Kerusakan yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, kapang, dan sebagainya. Pada tulisan kali ini, saya akan mengupas lebih dalam dibandingkan dengan penyebab lainnya.
Dari kelima jenis kerusakan tersebut, kerusakan mikrobiolog yang paling sering menjadi faktor membuat suatu bahan pangan rusak. Namun, pada umumnya bakteri tidak hidup pada organisme yang masih bernyawa.
Pertumbuhan suatu mikroorganisme pada suatu bahan pangan membentuk suatu kurva hiperbola menghadap ke bawah (berbentuk lonceng). Mikroorganisme mengalami 5 tahap. Tahap pertama adalah tahap adaptasi dimana mikroorganisme melakaukan suatu perubahan untuk tidak melakukan dormansi. Tahap kedua adalah fase pertumbuhan. Fase ini adalah fase ketika mikroorganisme mengalami penambahan jumlah secara eksponensial. Tahap selanjutnya adalah tahap statis. Jumlah mikroorganisme yang bertambah sama dengan jumlah bakteri yang mati karena karena jumlah stok bahan pangan yang menjadi sumber energi untuk melakukan reproduksi berkurang. Kemudian, bakteri memasuki fase mengarah kepada kematian karena stok makanan berkurang. Pada akhirnya, mikroorganisme mengalami fase kematian ketika jumlah bakteri berkurang secara negatif eksponensial.
Dengan demikian ada cara agar suatu bahan pangan dapat bertahan lebih lama dari serangan mikroorganisme, yaitu:
  1. Melakukan pengurangan jumlah awal bakteri dengan cara mencucinya dengan bersih atau dipotong apda bagian yang kotor.
  2. Memperpanjang waktu adaptasi mikroorganisme dengan membuat lingkungan yang tidak memungkinkan mikroorganisme hidup dengan nyaman seperti penurunan ph, penurunan suhu, dan sebagainya.
  3. Melakukan fase kematian pada mikroorganisme dengan cara pemanasan dan sebagainya.
Mikroorganisme terbagi menjadi empat jenis berdasarkan bentuknya:
  1. basil (berbentuk kotak)
  2. coccus (berbentuk bulat)
  3. spiral (berbentuk spiral)
  4. coma (berbentuk koma)
Mikroorganisme akan membelah secara biner setiap 20 menit sekali. Namun, pada saat perjalanannya tidak semua mikroorganisme tersebut dapat hidup secara suskes. Proses ini disebut dengan pengaruh selektif. Ada beberapa faktor yang mempengaruh pengaruh selektif:
  1. Faktor Intrinsik
    Mikroorganisme yang dipengaruhi oleh sifat fisik, kimia, dan karakteristik dari bahan pangan tersebut. Ada 6 faktor yang termasuk faktor intrinsik:
    • pH
      Mikroorganisme hidup pada pH kisaran 6.6-7.5.  Namun untu tingkat kepekaan, bakteri memiliki tingkat kepekaan pH 4-8, khamir 2,5-8,0/8,5, dan kapang 1,5-2,0-11,0. Pada bahan pangan sayuran, bakteri akan mampu menyerang bahan makanan tersebut karena sayuran memilki pH kisaran 4-6. Untuk buah(kisaran pH 3-5) dan daging (kisaran pH 5-6), bakteri tidak mampu menyerang kedua bahan pangan ini karena pH kedua bahan tersebut tidak dalam rentang yang mampu ditembus oleh bakteri. Namun, khamir dan kapang mampu menyerang mereka.
    • aW
      aW adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan bekteri pada proses reproduksi. Untuk bahan pangan segar, memilki aW=0,09.
    • O/R
      Reaksi reduksi dan oksidasi tersebut mempengaruhi jenis kehidupan dari suatu mikroorganisme. Mikroorganisme yang mempertahankan agar tidak tereduksi adalah bakteri mikroaerofilik. Contohnya adalah: Streptococci. Ada pula mikroorganisme yang mampu hidup baik ada oksigen maupun tidak ada oksigen. Mikroorganisme ini dikenal sebagai Fakultatif Anaerob. Contohnya: kapang dan khamir.
    • Kandungan gizi
      Seperti halnya makhluk hidup pada umumnya, mikroorganisme membutuhkan air| karbohidrat, lemak, dan pati sebagai sumber energi| protein sebagai sumber nitrogen|vitamin| mineral.
    • Antimikroba Alamiah
      Pada beberapa bahan pangan, ada semacam antimikroba yang membuat mikroorganisme sulit untuk hidup. Susu memilki laktenin dan antikoliform, telur memiliki Lysozim, Cranbery memiliki asam Benzoat, Cengkeh memiliki Eugenol, dan Kayu Manis memiliki aldehid sinamat.
    • Struktur Biologi
      Struktur yang ditonjolkan adalah struktur morfologi seperti kulit, rambut halus, dan sebagainya
  2. Faktor Ekstrinsik
    Faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis mikroorganisme yang berasal dari luar bahan pangan. Faktor ekstrinsik memiliki cabang:
    • Suhu Penyimpanan
      Mikroorganisme dibagi menjadi 3, yaitu phiskrofilik (mikroorganisme yang mampu hidup pada suhu -5 – 20) dengan contoh psudomonas, mesofil (mikroorganisme yang mampu hidup pada kisaran suhu 20-40) dengan contoh 25 genera, dan thermofil (organisme yang mampu hidup pada kisaran suhu >40)dengan contoh thermobacillus
    • RH
      RH tinggi dan aW rendah, maka akan menyerap air sehingga aW meningkat
      RH rendah dan aW tinggi, maka akan kehilangan air sehingga aW menurun
    • Susunan Gas
      Pada umumnya, mikroorganisme membutuhkan okisgen sebagai alat pembakar metabolisme mereka. Semakin banyak oksiogen yang mereka serap, maka semakin cepat pertumbuhan mereka, begitu pula sebaliknya.

  3. Faktor Implisit
    Faktor yang ditentukan oleh bahan biotik mikroorganisme tersebut dalam bahan pangan. Faktor ini terbagi menjadi dua:
    • Sinergisme –> mikroorganisme A merangsang pertumbuhan mikroorganisme B karena dihasilkan suatu zat ternteu.
      contoh: ragi tape
    • Antagonisme–> lawan dari Sinergisme. Contohnya: mikroorganisme A menghasilkan bakteriosim.
  4. Faktor Pengolahan
    Pengolahan bahan pangan sangat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Sebgai contoh adalah susu yang berada dalam kondisi netral dan mengandung protein tinggi akan mudah sekali membusuk. Jika ditaro di dalam lemari es, susu tersebut akan tahan selama 3 hari karena masih ada bakteri yang tersisa atau masih ada bakteri yang hidup pada suhu rendah (mikoorganisme phsikrofilik).

Manfaat diet SCFA untuk kesehatan

Walaupun berperan sebagai penghasil energi bagi tubuh, short-chain fatty acids (SCFA) hanya menyumbang sekitar 7% terhadap kebutuhan energi manusia. SCFA lebih memainkan peran penting dalam mempertahankan integritas dan metabolisme kolon untuk menjaga kesehatan kolon. SCFA yang banyak berperan untuk kesehatan tubuh terutama adalah asam butirat, propionat dan asetat. Beberapa manfaat atau peran dari SCFA terhadap kesehatan adalah (Hijova dan Chmelarova, 2007; Cook dan Sellin, 1997):
  • Absorpsi SCFA di dalam kolon akan meningkatkan absorpsi air dan sodium serta meningkatkan sekresi bikarbonat)
  • SCFA yang diabsorbsi oleh kolonisitas digunakan sebagai sumber energi dari sel-sel epitelial mukosa kolonisitas.
  • Peningkatan jumlah SCFA di dalam kolon akan menurunkan pH kolon yang secara tidak langsung akan mempengaruhi komposisi mikroflora kolon (meningkatkan mikroflora baik dan menurunkan jumlah mikroba patogen), menurunkan kelarutan asam empedu, meningkatkan absorbsi mineral, menurunkan jumlah amonia dan amin lainnya.
  • Butirat merupakan SCFA yang paling banyak digunakan sebagai sumber energi kolonisitas dan mempunyai sifat anti-inflamasi yang penting untuk menjaga kesehatan dan penyembuhan sel-sel kolon. Kondisi ini berimplikasi pada peranan butirat sebagai pengontrol diferensiasi, proliferasi dan apoptosis sel. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa butirat melindungi sel-sel kolon dari kerusakan DNA dengan cara menghambat pertumbuhan dan proliferasi sel-sel tumor, meningkatkan diferensiasi (normalisasi) sel-sel tumor/kanker, memproduksi fenotip yang serupa dengan sel normal dewasa, dan meningkatkan apoptosis (program kematian sel) sel-sel kanker kolorektal pada manusia Pada tingkat molekuler, butirat mempengaruhi ekspresi gen melalui fosforilasi dan asilasi protein histon. Asam propionat digunakan sebagai substrat untuk glukoneogenesis hepatik dan menghambat sintesa kolesterol dalam jaringan hepatik sehingga , dapat menurunkan kolesterol plasma.
  • Asam asetat diabsorbsi dan dibawa kedalam liver. Keberadaan asetil Co-A sintetase dalam sitosol adiposa dan kelenjar mammary menyebabkan asetat digunakan dalam proses lipogenesis. Asetat digunakan dalam sintesa asam lemak rantai panjang (LCFA) termasuk kolseterol, glutamin, glutamat dan beta-hidroksibutirat. Asam asetat juga digunakan sebagai sumber energi sel-sel otot.
  • Asam butirat mencegah atrophi mukosa dengan merangsang proliferasi sel melalui peningkatan laju aliran darah, peningkatan oksidasi aerobik SCFA untuk menghasilkan energi, peningkatan produksi hormon enterotropik, dan stimulasi sistim syaraf eneterik.
  • Meningkatkan kekuatan dan kelenturan kolon. Secara invitro, SCFA bersifat sebagai relaksant (menurunkan ketegangan) dari arteri kolonik. SCFA juga meningkatkan aliran darah ke dalam rektum. Infusi butirat intravenous pada tikus akan meningkatkan kekuatan mekanis dari anastomos kolonik.

Daftar Pustaka:
Cook, S.I. dan J.H. Sellin. 1997. Short Chain Fatty Acids in Health and Disease. Aliment Pharmacol Ther. 12:499-507. Blackwell Science, Ltd
Hijova, E dan A. Chmelarova. 2007. Short Chain Fatty Acids and Colonic Health. BratisI Lek Listy, 108(8):354-358. Slovakia.

Bahan Pembentuk Tekstur Pada Sosis Retort

  • Kriteria umum: bisa membentuk gel pada suhu tinggi (sterilisasi di dalam retort) dan pada pH adonan sosis. Bahan yang baik akan menghasilkan gel dengan tekstur yang dapat diiris.
  • Sepuluh bahan dasar yang (diperkirakan) dapat digunakan untuk membentuk tekstur sosis retort adalah:
Bahan
Deskripsi sifat
1. Alginat
· kisaran pH untuk stabilitas gel
· 3.5 – 10
· viskositas larutan jika suhu dinaikkan
· Turun
· karakteristik gel
· Bervariasi dari kaku dan dapat diiris sampai kohesif dan tiksotropik;
· Ca+2 membantu membentuk gel
· gel bersifat termoreversibel
· Tidak jika Ca+2 tinggi; ya jika Ca+2 rendah
2. Karagenan
· kisaran pH untuk stabilitas gel
· 4 – 10
· viskositas larutan jika suhu dinaikkan
· Turun
· karakteristik gel
· Bervariasi dari kaku dan dapat diiris sampai kohesif dan tiksotropik;
· Ca+2 membantu membentuk gel iota, K+ membentuk gel kappa
· gel bersifat termoreversibel
· Ya
3. Metil selulosa
· kisaran pH untuk stabilitas gel
· 3 – 10
· viskositas larutan jika suhu dinaikkan
· Membentuk gel
· karakteristik gel
· Kaku, bisa diiris
· gel bersifat termoreversibel
· Ya
4. Metil hidroksi propil selulosa
· kisaran pH untuk stabilitas gel
· 3 – 10
· viskositas larutan jika suhu dinaikkan
· Membentuk gel
· karakteristik gel
· Kaku, bisa diiris
· gel bersifat termoreversibel
· Ya
5. Gellan
· kisaran pH untuk stabilitas gel
· 1 – 13
· viskositas larutan jika suhu dinaikkan
· Turun
· karakteristik gel
· Kaku, bisa diiris
· gel bersifat termoreversibel
· Ya
6. Konjac flour
· kisaran pH untuk stabilitas gel
· 4 – 10
· viskositas larutan jika suhu dinaikkan
· Turun
· karakteristik gel
· Tiksotropik
· gel bersifat termoreversibel
· Tidak
7. Konsentrat protein whey
· viskositas larutan jika suhu dinaikkan
· Naik, membentuk gel
· karakteristik gel
· Elastis – kaku, bisa diiris
· gel bersifat termoreversibel
· Tidak
8. Tepung protein putih telur
· viskositas larutan jika suhu dinaikkan
· Naik, membentuk gel
· karakteristik gel
· Elastis – kaku, bisa diiris
· gel bersifat termoreversibel
· Tidak
9. Isolat protein kedelai
· viskositas larutan jika suhu dinaikkan
· Naik membentuk gel
· karakteristik gel
· Rapuh
· gel bersifat termoreversibel
· Tidak
10. Agar
· viskositas larutan jika suhu dinaikkan
· Turun
· karakteristik gel
· Kaku, rapuh, bisa diiris
· gel bersifat termoreversibel
· Ya

Mono Sodium Glutamat (MSG)

Oleh : Tulus Yudi Widodo Wibowo

FDA menggolongkan MSG (Mono Sodium Glutamat atau vetsin) sebagai GRAS (Generally Recognized as Safe, umumnya diakui sbg aman). Nilai ADI (Acceptable Daily Intake, asupan harian yang diperbolehkan sepanjang hidup tanpa menyebabkan efek buruk pada kesehatan) tidak ditentukan, yang artinya MSG bebas digunakan dalam jumlah yang wajar. Batas wajar pemakaian MSG pada konsentrasi sekitar 0.2-0.8%.

Walaupun demikian, sekitar 1.8% populasi sensitif terhadap MSG. Pada orang yang sensitif terhadap MSG, knsumsi MSG biasanya akan mengakibatkan terjadinya MSG Symptom Complex (terutama jika mengkonsumsi MSG dalam dosis besar dan penderita asma parah) yang ditandai dengan rasa sakit kepala; kebas; sensasi terbakar; wajah kesemutan dan terasa seperti tertarik; nyeri dada; mual; terjadinya percepatan detak jantung; merasa lemas dan mengantuk; dan kesulitan bernapas pada penderita asma. Masalah ini timbul 30 menit sampai beberapa jam setelah makan dan biasanya akan hilang dengan sendirinya. Karena masalah ini, maka dianjurkan agar orang-orang yang sensitif sebaiknya tidak menambahkan MSG kedalam makanannya.



Momok Penggunaan MSG sangat jelek di citra masyrakat padahal penggunaan MSG tidak terbahaya asal sesuai dengan komposisi/takaran yang dianjurkan/ditentukan. Di dalam MSG terdapat protein yang di butuhkan oleh tubuh kita karena MS merupakan turunan dari Protein yang bernama glutamat

Jadi pertanyaannya adalah: haruskah dan bolehkah MSG di gunakan di dalam makanan? Anda pasti sudah tahu jawabannya bukan...

Antioksidan langsng dari buah dan sayur lebih baik daripada bentuk suplemennya

Oleh : Tulus Yudi widodo wibowo
 
Jika anda ingin mendapatkan manfaat antioksidan, konsumsilah langsung dari buah dan sayur...

Kandungan antioksidan didalam buah dan sayur menyebabkan peluang kanker akan lebih rendah pada orang yg mengkonsumsi lebih banyak buah dan sayur. Tetapi, ketika komponen antioksidan tersebut diekstrak dan dikonsumsi dalam bentuk suplemen, apakah juga akan menurunkan resiko kanker bagi yang mengkonsumsinya? Saat ini, penelitian mengenai hal tersebut masih terus berlangsung. Dari penelitian secara in vitro dan dengan menggunakan hewan uji (tikus) banyak indikasi bahwa antioksidan mempromosi apoptosis sel kanker. Tetapi, hasil uji klinis tidak menunjukkan hasil yang sama dan sampai saat ini belum bisa membuktikan bahwa konsumsi suplemen antioksidan dapat mengurangi resiko kanker. Beberapa uji in vitro malah menunjukkan bahwa efek samping dari suplementasi antioksidan tertentu justru dapat mempromosikan proliferasi sel kanker (baca juga: Pro Cancer Antioxidants).


Buah-Buahan Yang banyak mengandung antioksidan terutama Pada Buah Dan Sayur yang berwarna Ungu (juga terdapat pada Buah dan sayur yang berwarna cerah). Fungsi dari antioxidan adalah untuk menangkal toxin (racun) maupun menetralisir toxin yang ada pada tubuh kita.

Bahaya Aflatoksin



Aflatoksin adalah komponen metabolit sekunder kapang. Setelah terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) pada kalkun yang berakhir dengan kematian di Inggris pada tahun 1960 karena mengkonsumsi pakan mengandung kacang tanah dan biji kapas yang tercemar aflatoksin, maka toksin ini dikenal sebagai racun yang sangat toksik, karsionogenik, mutagenik dan menekan sistem kekebalan pada manusia dan hewan (Syarief, 2006).

Pada umumnya, aflatoksin dibentuk oleh 2 jenis kapang yaitu Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. A. flavus tersebar luas di alam dan paling umum ditemukan pada biji-bijian yang tumbuh pada kondisi tertekan misalnya pada musim kemarau. Kapang ini bisa ditemukan di tanah, tumbuh-tumbuhan yang mengalami pembusukan dan jerami. Studi yang lebih baru menyebutkan bahwa species kapang yang berkerabat dekat dengan A. flavus juga mampu memproduksi aflatoksin diantaranya A. nominus, A. tamari, A. bombycis dan A. pseudotamarii (Farombi, 2006; Thanaboripat et al, 2007).

Sedikitnya 13 jenis aflatoksin telah diketahui, dan aflatoksin B1 merupakan jenis aflatoksin yang paling berbahaya. Walaupun keberadaan A. flavus tidak selalu berkorelasi dengan level aflatoksin, tetapi keberadaan A. flavus di dalam suatu jenis pangan bisa menjadi indikasi adanya potensi pembentukan aflatoksin.

Dengan mempertimbangkan potensi bahaya aflatoksin terhadap kesehatan manusia, maka di banyak negara telah diberlakukan program regulasi dan pemantauan (monitoring) aflatoksin. Batasan antara 0 sampai 50 ppb saat ini telah digunakan sebagai kandungan aflatoksin yang diijinkan di dalam pangan dan pakan (Patterson, 1983 disitasi oleh Farombi, 2006). Sebagian besar negara termasuk Amerika Serikat menetapkan 20 ppb sebagai batas maksimal kandungan aflatoksin di dalam pangan, sementara masyarakat ekonomi Eropa (European Economic Community, EEC) pada 1999 menetapkan kandungan aflatoksin total adalah 4.0 ppb dan AFB1 sebesar 2.0 ppb (Mishra dan Chitrangada, 2003 di dalam Farombi, 2006).

Data dari negara berkembang menunjukkan banyak bahan pangan pokok dan produk agriculture terkontaminasi oleh aflatoksin terutama AFB1 dalam jumlah yang cukup signifikan. Kontaminasi disebabkan oleh kondisi lingkungan, proses pengolahan yang buruk dan kurangnya fasilitas penyimpanan. Jagung  dan kacang tanah merupakan komoditas yang paling banyak terkontaminasi oleh aflatoksin.  

Bahaya aflatoksin terdiri dari bahaya akut  dan subkronik letal. Bahaya akut meliputi sirosis hati dan kematian, sedangkan bahaya subkronik letal meliputi kanker, peningkatan toksisitas virus hepatitis B, dan penekanan sistim imun serta berbagai gangguan gizi. Bahaya akut terjadi apabila terpapar aflatoksin dosis tinggi (minimal 1 ppm); bahaya kronik kanker terjadi apabila terpapar aflatoksin dengan dosis berapa pun.  Peningkatan toksisitas pada kondisi virus hepatitis B positif tidak diketahui dosis spesifiknya sementara itu, penghambatan imunitas dan berbagai gangguan gizi pada manusia terjadi apabila tjd paparan aflatoksin berdosis rendah (minimal 0,2 ppm).

Mengantisipasi Bahaya Mikotoksin

Oleh: Prof. Dr. Endang S. Rahayu (FTP - UGM)




Mikotoksin merupakan senyawa organik hasil metabolisme sekunder jamur benang (kapang). Sebagai contoh adalah jagung yang terkontaminasi oleh Aspergillus flavus penghasil aflatoksin. Aflatoksin merupakan molekul kecil, tidak larut dalam air, stabil dengan berbagai proses pengolahan.


Penanganan pasca panen pada bahan pertanian seperti halnya serealia dan kacang-kacangan perlu dilakukan dengan baik. Biji-bijian yang kurang kering (dengan kadar air >12%), akan ditumbuhi oleh berbagai jenis jamur yang diantaranya berpotensi menghasilkan mikotoksin. Aflatoksin, salah satu jenis mikotoksin pada bahan pangan. Kedua jamur ini banyak menyerang hasil pertanian kacang-kacangan, biji-bijian, serealia, bahkan bumbu-bumbu yang memiliki kadar air tinggi (di atas 12%). Senyawa bifuran ini bersifat non polar, stabil terhadap panas dan tahan terhadap perlakuan fisik maupun kimiawi. Dengan sifat-sifat ini, aflatoksin yang sudah mencemari bahan pangan sulit untuk dihilangkan. Bahkan aflatoksin B1 yang mencemari pakan dan terkonsumsi sapi perah juga tidak hilang sama sekali tetapi berubah menjadi aflatoksin M1 yang muncul pada susu yang memiliki toksisitas mirip dengan aflatoksin B1. Akumulasi toksin di dalam tubuh manusia ataupun hewan ternak memiliki efek hepatotoksik (kerusakan hati), hepatokarsinogenik (kanker hati), mutagenik, teratogenik, maupun immunosupresif.


Peraturan tentang batasan maksimum aflatoksin dalam produk pangan telah dituangkan dalam Keputusan Kepala Badan POM RI Tahun 2004. Di sana disebutkan bahwa batas maksimum cemaran aflatoksin B1 (AFB1) dan total aflatoksin produk pangan berbasis kacang tanah dan jagung masing masing adalah 20 ppb dan total aflatoksin 35 ppb. Produk susu memiliki batas maksimum aflatoksin M1 (AFM1) 0.5 ppb. Aflatoksin yang mencemari susu berasal dari perubahan aflatoksin B1 pada pakan menjadi aflatoksin M1.


Draft SNI tentang batasan cemaran mikotoksin, meliputi 5 jenis yaitu aflatoksin, deoksinivalenol, fumonisisn, okratoksin A, dan patulin sedang dibuat. Khusus untuk cemaran aflatoksin, batas maksimum yang ditetapkan pada berbagai produk pangan adalah sama seperti halnya pada Keputusan Kepala Badan POM (2004), yaitu pada kacang tanah dan produk olahannya serta jagung dan produk olahannya, adalah 20 ppb untuk AFB1 dan 35 ppb untuk total aflatoksin, dan pada susu dan produk olahannya adalah 0.5 ppb untuk AFM1. Namun demikian pada kenyataannya, data yang ada menunjukkan bahwa komoditi pertanian Indonesia, yaitu kacang tanah dan jagung banyak tercemar oleh aflatoksin, bahkan cemaran aflatoksin pada kedua komoditi yang beredar di pasar banyak melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan (> 20 ppb).


Cemaran pada jagung
Untuk mengetahui level cemaran aflatoksin pada supply chain jagung, Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian UGM bekerjasama dengan Badan Ketahanan Pangan Jawa Timur dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Tengah, telah melakukan mapping aflatoksin di daerah sentra produksi jagung. Total sampel jagung yang diuji adalah 139, dari sampel yang ada 84 sampel diambil dari level petani daerah Malang, Tuban, Kediri, Madura, dan Purbalingga dan 55 sampel diambil dari level pengumpul dan pedagang di daerah-daerah tersebut.


Dari hasil mapping diketahui bahwa pada level petani pun sekitar 30% sampel telah tercemar dengan aflatoksin B1 di atas 20 ppb, bahkan 10% sampel telah tercemar aflatoksin di atas 100 ppb, dengan nilai tertinggi 470 ppb. Sedang pada level pengepul dan pedagang jumlah cemaran yang melebihi 20 ppb meningkat menjadi 45% dan yang diatas 100 ppb sekitar 18%. Cemaran di tingkat petani yang sudah tinggi adalah sangat memprihatinkan, karena cemaran ini diperkirakan masih akan meningkat apabila saat disimpan sebelum dipasarkan jagung tidak mendapatkan perlakuan yang tepat. Dari pengamatan di lapangan diperoleh informasi bahwa petani pada umumnya melakukan praktek-praktek produksi jagung yang kurang tepat. Kurang optimalnya masukan pupuk dan tidak adanya pengendalian hama dan penyakit menyebabkan jagung tidak tumbuh dengan optimal dan mudah terserang penyakit, akibatnya jagung juga lebih mudah terinfeksi oleh jamur. Biji jagung hibrida dengan klobot yang tidak menutupi seluruh tongkol jagung merupakan peluang pertama infeksi jamur yang terjadi di lapangan, khususnya apabila biji yang tidak tertutup seluruhnya ini terserang hama. Pengeringan di tingkat petani juga pada umumnya kurang memenuhi persyaratan, mereka hanya menjemur jagung yang masih dalam tongkol ataupun yang sudah dipipil di tempat yang seadanya saja, misalnya dipinggir jalan atau di halaman rumah. Penyimpanan jagung yang dilakukan oleh beberapa pengepul maupun pedagang juga dilakukan dengan amat sederhana, kadang-kadang hanya ditimbun saja di ruang kosong di dalam rumah. Dengan kondisi ini akan terjadi pertumbuhan jamur dan berlanjut pada produksi toksin. Namun demikian, juga diketahui bahwa 55% jagung yang terdapat pada pengepul dan pedagang memiliki level AFB1 <20 ppb. Rendahnya cemaran ini karena proses pengeringan dan penyimpanan yang lebih baik, serta pada umumnya telah dilakukan sortasi. 


Cemaran pada produk berbasis jagung.  
Pada kajian ini juga telah dilakukan analisa aflatoksin B1 terhadap 65 sampel makanan berbasis jagung berupa marning (41 sampel), emping jagung (15 sampel), dan beras jagung (9 sampel). Sampel makanan ini diambil dari sentra produksi jagung (Malang, Tuban, Kediri dan Madura). Dari hasil diketahui bahwa pada umumnya marning dan emping jagung memiliki cemaran aflatoksin yang rendah, walaupun ada pula sampel yang memiliki cemaran  >20 ppb.


Cemaran aflatoksin pada marning dan jagung pada umumnya rendah diperkirakan karena efek perendaman dengan air kapur (saat pengolahan) dapat menurunkan kandungan aflatoksin cukup signifikan dari bahan dasar (Nugroho, 2005). Namun demikian, dengan ditemukannya 7 sampel dengan cemaran >20 ppb, menunjukkan bahwa bahan dasar jagung yang diolah telah memiliki cemaran yang cukup tinggi, hal ini sesuai dengan hasil survei yang dilakukan pada jagung level petani maupun pedagang yang ternyata ditemukan aflatoksin dengan cemaran sangat tinggi, yaitu >400 ppb. Hal ini juga memberikan kenyataan bahwa tingginya cemaran aflatoksin pada bahan dasar jagung tetap terikut pada produk olahannya.


Pada kajian ini cemaran aflatoksin B1 pada beras jagung yang dibeli di beberapa pasar di Madura juga telah dianalisa. Dari hasil diperoleh bahwa 8 dari 9 sampel yang diuji memiliki cemaran di atas 20 ppb, dengan angka tertinggi sekitar 82 ppb. Hasil ini cukup memprihatinkan karena pada umumnya beras jagung ini dikonsumsi dengan jumlah yang cukup banyak (sebagai nasi) dibandingkan dengan mengkonsumsi marning atau emping jagung (sebagai camilan).



Cemaran pada kacang tanah
Untuk mengetahui level cemaran aflatoksin pada supply chain kacang tanah, Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian UGM bekerjasama Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Tengah, telah melakukan mapping aflatoksin di daerah sentra produksi kacang tanah yaitu Pati, Rembang, Klaten, dan Wonogiri. Total sampel kacang tanah yang diuji adalah 91, dari petani sebanyak 58 sampel dan dari penebas dan pedagang 33 sampel. Secara umum, level aflatoksin pada petani adalah rendah, apalagi kacang tanah yang langsung diterima oleh industri pada umumnya masih berkulit dan setelah di panen langsung dibawa ke pabrik. Walaupun demikian di daerah Rembang ditemukan 4 sampel (dari 20 sampel petani) yang memiliki cemaran >20 ppb.


 
Cemaran pada produk berbasis kacang tanah
Untuk mengetahui cemaran aflatoksin pada produk pangan berbasis kacang, telah dianalisa AFB1 terhadap 35 sampel, yang terdiri dari ampyang, peyek, kacang telor, kacang goreng, enting-enting gepuk dan sambel pecel. Dari data yang diperoleh nampak bahwa pada bumbu pecel ternyata ditemukan cemaran AFB1 yang melebihi 20 ppb bahkan ada yang mencapai 100 ppb.


Peneliti yang lain (Lilieanny et al, 2005) juga telah mempublikasikan bahwa 25 % dari sampel enting-enting gepuk dan bumbu pecel yang dianalisa memiliki cemaran total aflatoksin melebihi dari batas maksimum (35 ppb).


Dari hasil survei supply chain kacang tanah menunjukkan bahwa di daerah sentra produksi kacang, kacang yang kualitasnya jelek dan kadang-kadang merupakan sisa kacang yang tidak diterima di pabrik masih dipasarkan. Istilah yang diberikan pada kacang jenis ini adalah minyikan. Empat sampel kacang minyikan yang biasanya digunakan sebagai bahan dasar pembuatan bumbu pecel juga telah disampling dari daerah Pati dan telah dianalisa AFB1, yaitu berkisar antara 60 – 85 ppb. Kacang minyikan secara fisik memang tidak menarik untuk diperdagangkan, karena bentuknya yang kecil, keriput, tidak utuh, dan kadang rasanya pahit. Namun untuk pembuatan bumbu pecel, karena dicampur dengan berbagai bumbu termasuk gula jawa, rasa pahit ini tidak terasa lagi. Aflatoksin yang stabil terhadap suhu tinggi, ternyata juga tidak hilang selama pembuatan bumbu pecel, sehingga masih banyak ditemukan bumbu pecel dengan cemaran AFB1 melebihi batas.



Strategi pengendalian cemaran aflatoksin
Melihat besarnya bahaya yang ditimbulkan oleh cemaran aflatoksin, perlu dilakukan langkah strategis mulai dari sejak pra panen hingga pada penyimpanannya, juga langkah dekontaminasi dan detoksifikasi.


Strategi pra-panen. Kontaminasi jamur yang cukup signifikan dapat terjadi pada jagung sejak perkembangannya di lahan. Kekeringan, kurangnya nutrisi, serangan insekta, kontaminasi jamur, dan penundaan panen merupakan faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi pertumbuhan jamur dan terbentuknya aflatoksin di lahan. Beberapa faktor tersebut sangat tergantung dari lingkungan dan diperlukan pengendalian dengan baik. Praktek budidaya yang baik akan meminimalkan terjadinya kontaminasi jamur di lahan. Beberapa langkah yang dipandang sebagai langkah efektif antara lain: 
(i) mengurangi stress tanaman melalui irigasi, pemupukan yang sesuai, dan pengendalian terhadap hama dan penyakit; 
(ii) menghindari kondisi lingkungan yang dapat mendukung infeksi di lahan; dan 
(iii) meminimalkan residu dan titik sumber kontaminan lainnya.


Saat panen. Pemanenan dapat mengakibatkan kerusakan fisik pada komoditas. Apabila kerusakan dijaga serendah mungkin pada tahap ini, kontaminasi lanjutan dapat dikurangi cukup signifikan. Sejumlah cara dipandang sebagai langkah efektif: 
(i) Panen jagung sebaiknya dilakukan sedini mungkin (saat kadar air sekitar 20 – 25%) dilanjutkan dengan pengeringan yang cepat (1-2 hari) agar kadar air jagung segera mencapai 14 % untuk pencegahan perkembangan jamur toksigenik; 
(ii) dilakukan pemisahan jagung yang rusak; 
(iii) kadar air dan suhu dijaga pada kisaran yang tepat; 
(vi) dilakukan pengendalian terhadap aktivitas insekta dan rodensia.


Prosedur pasca panen. Pencegahan melalui manajemen pra-panen merupakan metode paling baik dalam mengendalikan kontaminasi aflatoksin, namun demikian, jika kontaminasi telah terjadi pada tahapan tersebut, potensi bahaya yang berkaitan dengan toksin harus dikendalikan melalui prosedur pasca-panen terutama apabila produk tersebut ditujukan untuk konsumsi manusia dan pakan hewan. Pada tahap pasca-panen, pengeringan, penyimpanan dan pengolahan jagung merupakan tahapan penting agar kontaminasi dapat dicegah. Pengeringan harus dilakukan dengan dengan kondisi yang baik, sinar cukup, tempat yang bersih, terhindar dari debu yang bertebaran (karena dapat meningkatkan penyebaran spora jamur), dan dijauhkan dari segala serangan insekta dan rodensia.


Penyimpanan. Penyimpanan, baik di tingkat petani, pengumpul, pengecer atau pedagang merupakan tahapan pasca-panen paling kritis dalam penanganan jagung. Fasilitas penyimpanan yang kurang, pengemasan yang tidak tepat dan kondisi produk saat disimpan dapat menyebabkan kontaminasi mikotoksin selama penyimpanan. Akumulasi kadar air dan panas, dan kerusakan fisik produk dapat memicu tumbuhnya jamur yang kemudian menghasilkan mikotoksin. Harus dipastikan bahwa jagung yang disimpan tetap kering (kadar air < 12 %) untuk mencegah tumbuhnya jamur. Demikian juga hewan-hewan kecil seperti tikus, serangga jangan sampai terdapat di sekitar area penyimpanan untuk mencegah terjadinya kerusakan fisik pada produk. Pengemasan yang baik dapat mencegah serangan hewan-hewan tersebut, dan jika tidak terdapat kemasan yang baik maka praktek hygiene dan penggunaan pestisida juga dapat meminimalkan kontaminasi.


Dekontaminasi /detoksifikasi. Untuk mengendalikan cemaran aflatoksin pada jagung sebagai bahan baku untuk pengolahan produk pangan maka bisa dilakukan dengan cara dekontaminasi, detoksifikasi, atau kombinasi keduanya. Sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya maka hal-hal berikut ini bisa dilakukan untuk mengendalikan cemaran aflatoksin pada jagung :


Dekontaminasi dapat dilakukan dengan : 
(1) Pengupasan kulit karena komponen kulit bisa menjadi sumber pencemar,
(2) Pemisahan biji cacat ukuran atau bentuk, karena biji cacat cenderung tercemar; 
(3) Sortasi warna atau kenampakan; 
(4) Pemisahan berdasarkan densitas biji, karena biji yang berdensitas rendah cenderung tercemar; 
(5) Pemisahan komponen yang dikehendaki (misal: minyak atau pati) untuk pengolahan lanjut.


Detoksifikasi dilakukan dengan : 
(1) Panas bertekanan tinggi, pemanasan basah lebih efektif dari pada pemanasan kering, dan bisa dikombinasikan dengan lama pemanasan. 
(2) Air kapur untuk menaikkan pH cairan perendam atau perebus yang diikuti dengan pencucian; 
(3) Amoniak dalam bentuk gas maupun cairan, namun bentuk gas lebih lazim dan lebih mudah pelaksanaannya dan efektif,
(4) Penyinaran dengan sinar ultraviolet maupun sinar tampak, namun hanya efektif untuk bahan yang tembus cahaya, 
(5) Kultur jamur atoksigenik pada proses fermentasi produk untuk menghambat pertumbuhan jamur aflatoksigenik;
(6) Enzim ataupun metabolit dari mikroorganisme lain yang mampu mendetoksifikasi aflatoksin.