*




Minggu, 24 Juni 2012

Mie Basah Mentah Awet Dua Hari


PENDAHULUAN

Mie basah merupakan salah satu jenis mie yang dikenal luas dan disukai oleh masyarakat dan sebagian besar diproduksi oleh industri rumah tangga, kecil dan menengah. Dua jenis mie basah yang dikenal masyarakat adalah mie mentah (raw noodle) dan mie rebus (cooked noodle).

Mie basah mentah dijual dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahan seperti mie ayam. Mie basah mentah juga banyak diolah menjadi aneka makanan di tingkat rumah tangga.

Tanpa penambahan pengawet, umur simpan mie basah mentah relatif pendek: sekitar 16 – 20 jam jika disimpan pada suhu ruang. Penyebab kerusakan terutama aktivitas mikroba pembusuk yang dipercepat oleh beberapa faktor berikut:
  • Tingginya kadar air, aktivitas air (aw) dan pH mie basah
  • Praktek pengolahan mie basah yang kurang memperhatikan sanitasi dan higiene
  • Kondisi produksi, distribusi, penyimpanan dan penjualan pada suhu ruang
Pendeknya umur simpan menjadi masalah tersendiri bagi produsen, terutama bila mie basah akan dijual dalam bentuk segar. Karena itu, penggunaan bahan pengawet sering kali menjadi pilihan produsen untuk meningkatkan umur simpan mie basah. Amat disayangkan, dari beberapa laporan ditemui adanya penggunaan bahan tambahan illegal yang dapat membahayakan kesehatan konsumen seperti boraks dan formalin untuk memperbaiki tekstur dan umur simpan mie basah mentah.

Dalam upaya membantu mengatasi masalah diatas, maka Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB telah mengembangkan strategi agar mie basah mentah awet selama dua hari sesuai keinginan UKM mie basah

STRATEGI PENGAWETAN MIE BASAH MENTAH SELAMA DUA HARI

Agar umur simpan mie basah mentah dapat lebih lama, maka pada tahap awal produsen harus meminimalkan jumlah mikroba yang ada pada mie basah yang diproduksinya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menerapkan program sanitasi fasilitas, peralatan dan pekerja di industri. Kegiatan sanitasi yang dilakukan adalah sebagai berikut:
  • Pembersihan dan sanitasi lantai sebelum dan setelah produksi dengan cairan pel komersial
  • Pembersihan dan sanitasi peralatan dengan alkohol 90% atau air terklorinasi 50 ppm sebelum dan setelah produksi
  • Pekerja wajib mandi dan mengenakan baju kaos, celana panjang, sepatu, tutup kepala dan mencuci tangan dengan sabun antiseptik sebelum produksi
  • Pengaturan lalu lintas pekerja agar tidak terjadi kontaminasi: pekerja bagian persiapan bahan baku vs pekerja bagian pengolahan
Untuk membantu memperlambat pertumbuhan mikroba didalam mie basah mentah, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan telah mengembangkan pengawet untuk mie basah mentah. Pengawet ini merupakan campuran dari paraben, kalsium propionat dan natrium asetat.

Untuk 1 bal (25 kg terigu), bahan pembuat mie basah mentah (mie ayam) yang digunakan adalah sebagai berikut:


Bahan-bahan selain terigu yaitu pengawet mie, natrium karbonat dan garam dapur dilarutkan didalam air, membentuk larutan alkali (Gambar 1). Selanjutnya, larutan alkali inilah yang digunakan untuk membuat mie mentah, seperti terlihat pada Gambar 2.

Penggunaan pengawet ini bersama-sama dengan natrium karbonat dan garam dapur (NaCl) akan menghasilkan mie basah mentah dengan warna dan aroma normal (khas mie basah mentah) dengan tekstur kenyal dan umur simpan yang lebih lama tanpa menggunakan boraks dan formalin. Apabila ambang batas penerimaan mie basah ditentukan secara visual seperti layaknya konsumen di pasar, maka penggunaan pengawet ini dapat meningkatkan umur simpan mie mentah sampai 48 jam pada penyimpanan di suhu ruang.


Silahkan tinggalkan komentar anda tentang blog saya. Terima kasih

Mengenal Blansir

Oleh: Elvira Syamsir (Tulisan asli didalam Kulinologi Indonesia 1/2011)

Bahan pangan nabati seperti buah dan sayur seringkali disimpan dalam bentuk produk beku, kering atau bentuk kalengan. Bentuk olahan ini akan memperpanjang umur simpan bahan disamping juga akan mempermudah dan mempersingkat waktu pengolahan bahan tersebut menjadi produk akhir.

Untuk memperoleh produk nabati beku, kering atau kalengan dengan mutu sensorik yang tetap bisa dipertahankan selama proses pembekuan, pengeringan dan pengalengan maupun selama proses penyimpanannya, dibutuhkan suatu proses pemanasan awal yang dikenal dengan istilah blansir.

Blansir juga dilakukan di industri jasa boga. Seperti di industri pangan olahan, blansir disini juga bertujuan untuk mempertahankan mutu sensorik dan nutrisi dari buah dan sayur.  


BLANSIR DAN TUJUANNYA

Blansir merupakan perlakuan pemanasan awal yang biasanya dilakukan pada bahan nabati segar sebelum proses pembekuan, pengeringan atau pengalengan. Walaupun secara umum proses blansir bertujuan untuk memperbaiki mutu produk, tujuan khusus dari proses blansir bervariasi dan tergantung pada proses pengolahan yang akan dilakukan.

Pada proses pembekuan dan pengeringan, blansir dilakukan untuk menghentikan aktivitas enzim-enzim yang merusak mutu produk olahan yang dihasilkan. Sebagai contoh, enzim polifenol oksidase mengoksidasi komponen fenolik dan menyebabkan pembentukan pigmen coklat dipermukaan buah dan sayur. Pencoklatan ini tidak hanya merusak warna, tetapi juga menyebabkan terjadinya penyimpangan flavor dan penurunan mutu nutrisi buah dan sayur. Produk beku atau kering yang dibuat tanpa melalui proses blansir akan mengalami penurunan mutu sensorik (warna, flavor, tekstur) dan nilai nutrisi yang relatif cepat selama penyimpanan. Inaktifasi enzim ini pada saat blansir dapat mempertahankan warna, flavor dan kandungan nutrisi lebih lama.

Blansir yang dilakukan pada proses pengalengan, ditujukan untuk mengeluarkan udara dari dalam jaringan bahan dan meningkatkan suhu bahan (pemanasan awal). Pengeluaran udara dari jaringan dan pemanasan awal sebelum pengisian kedalam kaleng menjadi tujuan utama karena sangat berpengaruh pada penurunan kadar oksigen (pembentukan kondisi vakum) di dalam wadah. Keberadaan oksigen dalam produk kaleng tidak dikehendaki karena akan mempercepat proses kerusakan dan memperpendek umur simpan produk. Selain itu, blansir pada proses pengalengan juga bertujuan untuk melunakkan jaringan bahan sehingga mempermudah proses pengemasan (pengisian).

Pada proses pengalengan, inaktivasi enzim tidaklah menjadi tujuan utama. Pada beberapa kasus pengalengan, blansir ditujukan justru untuk mengaktivasi kerja enzim. Dalam kasus ini, aplikasi panas selama pengalengan menyebabkan lapisan epidermis bahan menjadi rusak dan tekstur berubah menjadi lembek. Blansir yang dilakukan pada suhu rendah dan waktu yang panjang dapat mencegah terjadinya pelunakan tekstur karena meningkatkan aktivitas enzim pektin metil esterase, enzim yang mengubah karakteristik biokimiawi dinding sel dan lamella tengah dari jaringan nabati menjadi lebih mudah membentuk kompleks dengan kalsium yang mencegah pelunakan tekstur.

Di industri jasa boga, buah dan sayur segar yang telah mengalami perlakuan perlukaan (misalnya dikupas, diiris atau dirajang) kadang-kadang tidak langsung diolah (dimasak) karena berbagai faktor. Seperti telah dijelaskan diatas, bahan yang mengalami perlukaan ketika kontak dengan udara akan mengalami kerusakan warna, flavor dan tekstur karena aktivitas enzim. Proses blansir dilakukan untuk inaktivasi enzim dan mencegah terjadinya kerusakan tersebut. Blansir juga bisa dilakukan untuk mempermudah proses pengupasan. Panas karena blansir akan melunakkan kulit bahan sehingga mempermudah proses pelepasan kulit bahan.

Proses blansir juga membantu membersihkan bahan dan mengurangi jumlah mikroba awal, terutama yang ada di permukaan bahan. Pada sayuran daun, proses blansir dapat mereduksi jumlah bakteri mesofilik lebih dari 103 koloni/gram, tanpa menambahkan perlakuan kimiawi. Untuk alasan ini, maka proses blansir terkadang juga digunakan sebagai alternatif pengawetan untuk produk buah dan sayur diolah minimal (contohnya salad buah dan sayur; dan fresh cut product) yang dikemas dalam kemasan vakum dengan lama penyimpanan lebih dari 10 hari dan kondisi suhu ruang penyimpanan tidak stabil di suhu dingin (kurang dari 4oC).

METODE BLANSIR

Proses blansir yang umum dilakukan adalah dengan menggunakan air panas (70 – 100oC) atau dengan steam (uap panas). Saat ini juga mulai berkembang proses blansir yang dilakukan dengan menggunakan microwave.

Blansir untuk sayuran biasanya dilakukan dengan menggunakan air panas atau steam sementara blansir buah dilakukan dengan menggunakan larutan kalsium. Penggunaan larutan kalsium, bertujuan untuk mempertahankan tekstur buah melalui pembentukan kalsium pektat. Pengental seperti pektin, karboksimetil selulose dan alginat juga dapat digunakan untuk membantu mempertahankan tekstur buah agar tetap tegar setelah proses blansir.

Proses pendinginan setelah blansir dilakukan untuk menghentikan proses pemasakan, mencegah pelunakan jaringan yang berlebihan sekaligus juga berfungsi sebagai proses pencucian setelah blansir. Pendinginan dilakukan segera setelah blansir. Bahan dicemplungkan ke dalam air es selama beberapa waktu, biasanya sama dengan lamanya waktu yang digunakan untuk blansir. Waktu pendinginan juga tidak boleh terlalu lama, karena akan menyebabkan meningkatnya kehilangan komponen larut air karena lisis kedalam air pendingin. Untuk meminimalkan kehilangan komponen larut air karena lisis kedalam air pendingin, maka proses pendinginan juga dapat dilakukan dengan menggunakan udara dingin sebagai media pendinginan. Tentu saja, biaya yang dibutuhkan untuk investasi peralatan pendinginan cepat (quick cooling) akan jauh lebih besar dibandingkan dengan teknik pendinginan yang menggunakan air dingin sebagai media pendingin.

LAMA WAKTU BLANSIR

Berapa lama proses blansir yang dibutuhkan untuk inaktivasi enzim, sangat tergantung pada jenis bahan yang diblansir, metode blansir yang digunakan, ukuran bahan dan suhu media pemanas yang digunakan. Pada Tabel 1 dapat dilihat lama waktu blansir dari beberapa bahan pada suhu 100 drjt C. Proses dapat dilakukan pada suhu diatas atau dibawah 100 drjt C.









Waktu blansir yang direkomendasikan atau yang optimal penting untuk dipatuhi. Proses blansir yang berlebihan akan menyebabkan produk menjadi masak dan kehilangan flavor, warna dan komponen nutrisi karena komponen-komponen tersebut rusak atau terlarut kedalam media pemanas (pada proses blansir dengan air panas atau steam). Sebaliknya, waktu blansir yang tidak cukup akan mendorong meningkatnya aktivitas enzim perusak dan menyebabkan kerusakan mutu produk yang lebih besar dibandingkan dengan yang tidak diblansir.

Di dalam proses blansir buah dan sayuran, terdapat dua jenis enzim yang tahan panas, yaitu enzim katalase dan peroksidase. Kedua enzim ini memerlukan pemanasan yang lebih tinggi untuk menginaktifkannya dibandingkan enzim-enzim yang lain. Baik enzim katalase maupun peroksidase tidak menyebabkan kerusakan pada buah dan sayuran. Namun karena sifat ketahanan panasnya yang tinggi, enzim katalase dan peroksidase sering digunakan sebagai enzim indikator bagi kecukupan proses blansir. Artinya, apabila tidak ada lagi aktivitas enzim katalase atau peroksidase pada buah dan sayuran yang telah diblansir, maka enzim-enzim lain yang tidak diinginkan pun telah terinaktivasi dengan baik.

PENGGANTI BLANSIR

Blansir dengan air panas tidak selalu diinginkan, terutama pada buah potong yang akan dimakan dalam bentuk segar dan buah beku yang akan dikonsumsi dalam bentuk segar (tanpa pemasakan) setelah proses thawing. Pada buah potong yang akan dikonsumsi dalam bentuk segar, proses blansir dapat menyebabkan perubahan karakteristik sensorik ‘khas buah segar’-nya. Sementara pada buah beku, kerusakan panas yang terjadi selama blansir pada beberapa jenis buah menyebabkan perubahan flavor dan tekstur buah (tekstur menjadi porous seperti gabus) setelah dithawing. Kondisi ini menyebabkan buah menjadi tidak layak untuk dikonsumsi segar. Untuk kasus seperti ini, maka digunakan metode alternatif lain untuk menghambat perubahan enzimatis terutama reaksi pencoklatan.

Beberapa metode yang bisa digunakan sebagai pengganti blansir pada pembuatan buah beku adalah inaktivasi enzimatis secara kimia, menghindarkan kontak dengan oksigen (misalnya dengan mengemas buah dalam larutan gula) dan perendaman dalam larutan yang mengandung anti oksidan (misalnya asam askorbat).

Kalau Di Teknologi Industri Pangan - Politeknik Negeri Jember bukan Blansir melainkan Blanching. Perbedaan itu penting meskipun kita berbeda pernyataan. :D
Silahkan tinggalkan komentar anda tentang blog saya. Terima kasih

Mengenal Proses Pembuatan Coklat

Oleh: Elvira Syamsir (Kulinologi Indonesia, Februari 2011)

Sadarkah anda, bahwa coklat merupakan pangan yang unik? Coba perhatikan, bentuknya yang padat pada suhu ruang akan segera leleh menjadi bentuk cairan lembut begitu masuk ke dalam mulut. Hal ini ternyata terkait dengan karakteristik lemak coklat (cocoa butter) yang berbentuk padat pada suhu dibawah 25oC dan mencair pada suhu tubuh. Selain itu, coklat juga mempunyai rasa manis yang disukai oleh banyak orang.

DARI BIJI COKLAT

Coklat berasal dari biji buah coklat (cacao bean). Tanaman coklat (Theobroma cacao) dibagi dalam tiga kelompok besar yaitu jenis Criollo, Forastero dan Trinitario. Criollo menghasilkan biji kakao dengan aroma yang sangat kuat tanpa rasa pahit, tetapi sensitif terhadap perubahan iklim dan serangan hama penyakit dengan jumlah produksi relatif rendah. Berbeda dengan criollo, forastero lebih tahan perubahan iklim dan serangan hama, jumlah produksinya relatif besar tetapi bijinya memiliki aroma yang lemah dengan rasa yang pahit. Biji kakao Indonesia sendiri sebagian besar masuk dalam jenis Trinitario yang merupakan hasil persilangan dari Criollo dan Forastero dengan sifat yang mirip dengan Criollo.

Buah kakao berbentuk bulat panjang (panjang sekitar 15 – 25 cm dan lebar 7 – 10 cm) dengan kulit yang relatif tebal (10 – 15 mm). Warnanya yang hijau pada saat masih muda berganti menjadi kuning, oranye, merah atau ungu ketika masak, walaupun pada beberapa varietas warnanya tetap hijau ketika buah masak. Pulp atau daging buah menutupi 20 – 40 buah biji kakao. Pada buah yang masak, pulp memiliki konsistensi lunak dan berlendir dengan rasa yang manis dan warna putih seperti susu. Biji kakao sendiri berbentuk oval pipih. Panjang biji sekitar 2 cm dengan lebar sekitar 1 cm dan berat ± 1 gram jika dikeringkan. 


Tanaman coklat mulanya tumbuh liar di hutan hujan tropis Amerika. Adalah masyarakat kuno di Amerika Tengah dan Mexico, termasuk diantaranya bangsa Maya dan Aztec, yang menemukan rahasia keistimewaan biji kakao ini lebih dari 2000 tahun yang lalu. Pada masa itu, hancuran biji coklat disangrai dan dicampur dengan jagung dan berbagai rempah diantaranya paprika, vanilla atau kayu manis lalu ditambah air untuk menghasilkan minuman rempah coklat yang berbusa.

Memasuki akhir abad ke-15, coklat bertransformasi menjadi resep baru. Cortez yang memimpin ekspedisi ke Aztec, kembali ke Spanyol dengan membawa biji kakao sekaligus dengan resep pembuatan minumannya. Di Eropa, minuman ini menjadi populer setelah formula minuman diubah: rempah dihilangkan dan diganti dengan gula. 

Jika awalnya coklat diperlakukan sebagai barang mewah, maka penemuan teknik pemisahan lemak coklat dan teknik pembuatan coklat bubuk pada awal abad ke-19 telah menyebabkan coklat berkembang sebagai komoditas pangan. Selanjutnya, inovasi produk coklat terus berkembang sejalan dengan makin berkembangnya pemahaman mengenai karakteristik coklat.

PEMBUATAN COKLAT

Proses pembuatan coklat melibatkan berbagai tahapan proses, seperti tampak pada Gambar 1. Untuk memperoleh coklat dengan hasil terbaik, buah kakao dipanen dalam kondisi masak sempurna. Buah dipotong dan ditumpuk dengan hati-hati, lalu dibelah dan diambil bijinya. Di tingkat petani, biji coklat difermentasi dan dikeringkan sebelum dikirim ke pabrik coklat untuk pengolahan lebih lanjut. 



Persiapan Biji Coklat (Cocoa Bean)

Biji ditumpuk di lantai atau wadah (keranjang bambu, kotak kayu) dan difermentasi selama 2 – 8 hari. Secara periodik, dilakukan pengadukan biji agar oksigen yang dibutuhkan untuk proses fermentasi bisa masuk dan tersebar merata diseluruh tumpukan biji. Selama fermentasi, suhu biji naik menjadi 45 - 50°C yang mematikan biji (menghentikan germinasi) dan meningkatkan keasaman biji. Selain itu juga terjadi pembentukan warna dan flavor serta degradasi parsial komponen penyebab rasa pahit dan kelat. Pulp yang menempel pada biji coklat terdekomposisi secara enzimatis menjadi cairan yang larut air. Fermentasi dikatakan sempurna jika warna biji kakao berubah dari warna terang menjadi coklat gelap yang homogen dan biji mudah dipisah dari kulit bijinya. 

Setelah fermentasi selesai, biji dikeringkan hingga kadar air mencapai 6 – 8%. Proses pengeringan bisa dilakukan dengan cara penjemuran atau menggunakan oven pengering (55 – 66oC). Di beberapa negara, termasuk Indonesia, dilakukan pencucian biji sebelum dikeringkan. Walaupun akan memperbaiki penampakan biji, tetapi pencucian yang berlebihan beresiko untuk meningkatkan kerapuhan biji.

Biji kakao kering dibagi dalam beberapa kelas mutu, seperti tampak pada Tabel 1. Mutu terbaik adalah biji yang masuk dalam kategori kelas mutu A. 

Pembuatan Pasta Coklat (Cocoa Liquor)

Pembuatan pasta coklat melibatkan tahapan proses pembersihan biji, pemisahan kulit dan penyangraian. Pembersihan ditujukan untuk mengeluarkan pengotor yang mungkin terbawa, seperti pasir, batu, partikel-partikel tanaman dan sebagainya. Keberadaan pengotor ini tidak diinginkan. Jika pengotor yang keras hanya potensial untuk merusak peralatan proses, maka pengotor organik juga bisa merusak flavor coklat selama proses penyangraian.

Proses penyangraian biji coklat dilakukan pada suhu maksimal 150oC, selama 10 – 35 menit, tergantung dari tujuan akhir penggunaan biji. Biji yang akan diolah menjadi coklat (chocolate), membutuhkan proses sangrai yang lebih intensif dibandingkan dengan biji yang akan diolah untuk menjadi coklat bubuk (cocoa powder). Apapun metode penyangraian yang dipilih, proses tidak boleh menghanguskan kulit karena akan merusak flavor. Selama proses penyangraian, kadar air biji turun menjadi sekitar 2% dan terjadi pembentukan flavor coklat. Biji akan berwarna lebih gelap dengan tekstur yang lebih rapuh dan kulit menjadi lebih mudah dipisah dari daging biji (nib). Penyangraian juga akan mempermudah proses ekstraksi lemak. Selain itu, panas selama penyangraian juga berperan untuk membunuh kontaminan yang mungkin terikut dari tahapan sebelumnya. 

Biji yang telah disangrai secepatnya didinginkan untuk mencegah pemanasan yang berlebihan. Biji selanjutnya dihancurkan dan dipisahkan dari kulit ari dan lembaganya dengan menggunakan teknik hembusan udara (menampi secara mekanis). Keberadaan kulit ari dan lembaga tidak diinginkan karena akan merusak flavor dan karakteristik produk olahan coklat.

Setelah penyangraian, biji coklat (nib) mengalami proses penggilingan (pelumatan). Proses ini dilakukan secara bertingkat sebanyak 2 – 3 tahap untuk memperoleh pasta coklat (cocoa liquor atau cocoa mass) dengan tingkat kehalusan tertentu.

Pada pembuatan pasta coklat, kadang juga dilakukan proses alkalisasi sebelum proses penggilingan. Tujuan proses alkalisasi adalah untuk melembutkan flavor dengan menetralkan sebagian asam-asam bebas, juga untuk memperbaiki warna, daya basah (wettability) dan dispersibilitas coklat bubuk (cocoa powder) sehingga mencegah pembentukan endapan dalam minuman coklat. Pada proses alkalisasi, nib sangrai direndam dalam larutan alkali encer (konsentrasi 2 – 2.5%) pada suhu 75 – 100oC lalu dinetralkan untuk selanjutnya dikeringkan sampai kadar air menjadi 2%, atau di adon (kneading). Proses ini menyebabkan penggembungan pati dan menghasilkan massa coklat dengan struktur sel berbentuk sponge dan porous. 

Pembuatan Coklat Bubuk (Cocoa Powder) dan Lemak Coklat (Cocoa Butter)

Untuk memperoleh coklat bubuk, maka sebagian lemak coklat (cocoa butter) yang ada di dalam pasta coklat harus dikeluarkan. Proses pengeluaran lemak dilakukan dengan mengepress pasta menggunakan pengepress (hidraulik atau mekanis) pada tekanan 400 – 500 bar dan suhu 90 – 100oC. 

Lemak coklat panas dilewatkan ke filter press untuk memisahkannya dari kotoran yang mungkin terbawa, untuk selanjutnya dicetak dan didinginkan. Lemak coklat ini digunakan oleh industri coklat.

Bungkil biji hasil dari pengepressan dihaluskan dengan menggunakan alat penghalus (breaker) dan diayak untuk memperoleh ukuran partikel bubuk yang seragam. Kadar lemak didalam coklat bubuk berkisar antara 10 – 22%. Bubuk coklat dengan kadar lemak yang lebih tinggi biasanya memiliki warna yang lebih gelap dan flavor yang lebih ringan. Coklat bubuk ini digunakan dalam berbagai produk pangan, misalnya untuk membuat minuman coklat, inggridient untuk cake, puding, ice cream dan sebagainya.

Pembuatan Coklat (Chocolate)

Coklat (chocolate) dibuat dengan menggunakan pasta coklat, yang ditambahkan dengan sukrosa, lemak coklat, dengan atau tanpa susu dan bahan-bahan lain (flavoring agent, kacang-kacangan, pasta kopi, dan sebagainya). Bahan-bahan ini dicampur dalam sebuah mixer atau paster, sehingga dihasilkan pasta coklat yang kental yang selanjutnya mengalami proses pelembutan (refining) dengan mesin tipe roll sampai diperoleh massa coklat dengan tekstur yang halus (ukuran partikel kurang dari 20 µm). 

Massa coklat hasil dari refining berbentuk bubuk dan kering pada suhu ruang dengan flavor yang asam. Untuk memperbaiki konsistensi tekstur dan flavornya, maka massa coklat kadang-kadang diperam selama 24 jam pada suhu hangat (45 – 50oC) sebelum masuk ketahapan proses penghalusan (conching). Proses pemeraman ini dikenal dengan sistem dutch, kadang dilakukan untuk membuat coklat bubuk. 

Proses penghalusan (conching) adalah proses pencampuran untuk menghasilkan coklat dengan flavor yang baik dan tekstur yang halus. Biasanya dilakukan dua tahap, proses dilakukan pada suhu 80oC selama 24 – 96 jam. Adonan coklat dihaluskan terus-menerus dan lesitin ditambahkan pada akhir conching untuk mengurangi kekentalan coklat. Pada tahapan ini, air dan senyawa pengganggu flavor menguap, lemak kakao akan menyelimuti partikel coklat, gula dan susu secara sempurna sehingga memberikan sensasi tekstur yang halus. 

Lemak coklat memiliki beberapa bentuk polimorfik dan proses pendinginan yang dilakukan akan sangat mempengaruhi bentuk kristalnya. Jika pemadatan (kristalisasi) coklat cair dilakukan dengan proses pendinginan yang tidak terkontrol, akan dihasilkan coklat padat dengan tekstur yang bergranula dan spot-spot warna kelabu dipermukaan. 

Tempering merupakan tahapan proses berikutnya, yang dilakukan untuk memperoleh coklat yang stabil, karena akan menghasilkan kristal-kristal lemak berukuran kecil dengan titik leleh yang tinggi. Adonan lemak cair didinginkan dari 50oC menjadi 18oC dalam waktu 10 menit dengan pengadukan konstan. Adonan lalu didiamkan di suhu dingin selama sekitar 10 menit untuk membentuk lemak coklat dengan kristal tipe ẞ yang bersifat stabil. Suhu selanjutnya dinaikkan menjadi 29 – 31oC, dalam waktu 5 menit. Proses ini bisa bervariasi, tergantung komposisi bahan yang digunakan. 

Sebelum pencetakan, suhu coklat cair dijaga pada 30 – 32oC untuk dibawa ke wadah-wadah pencetakan. Selanjutnya, dilakukan pendinginan lambat untuk memadatkan coklat dan coklat dikeluarkan dari cetakan setelah suhu mencapai 10oC. proses pendinginan terkontrol akan menghasilkan coklat padat dengan kristal lemak yang halus dan struktur yang stabil terhadap panas, terlihat dari sifat lelehnya yang baik dan permukaan yang mengkilap.

JENIS-JENIS COKLAT

Jenis coklat yang dihasilkan sangat bervariasi, tergantung pada berapa banyak pasta dan lemak coklat yang digunakan serta apa saja inggridien lain yang ditambahkan. Perbedaan formulasi bahan yang digunakan ini menyebabkan perbedaan tidak hanya dalam flavor dan rasa, tetapi juga perbedaan perilakunya terhadap panas dan air sehingga menyebabkan perbedaan dalam pemanfaatannya.

• Couverture
Jenis coklat terbaik, coklat ini sangat murni dengan persentase lemak kakao-nya yang tinggi sehingga menghasilkan flavor yang sangat baik. Biasanya digunakan untuk pembuatan produk coklat buatan tangan. Sebelum digunakan coklat jenis ini di-temper (dilelehkan) terlebih dahulu.

• Plain atau baking chocolate
Coklat dengan rasa khas coklat (plain). Produk ini dibuat dari pasta coklat yang didinginkan dan dikeraskan, tanpa penambahan gula. Terutama digunakan sebagai inggridien atau sebagai garnish. 

• Semi-sweet dan sweet chocolate
Coklat ini memiliki rasa manis. Juga digunakan sebagai inggridien. Berbeda dengan coklat yang plain, semi-sweet chocolate memiliki ekstra lemak coklat dan mendapat tambahan gula. dalam resep is also used primarily in recipes. Sweet cooking chocolate sama dengan semi-sweet, hanya kandungan gulanya lebih banyak.

• Milk chocolate
Coklat susu, dibuat dengan menggunakan pasta coklat dengan penambahan lemak coklat, gula, susu dan vanila. Merupakan jenis coklat yang paling populer, biasa dikonsumsi langsung (eating chocolate). Coklat jenis ini tidak cocok dijadikan inggridien kue. Selain kandungan cokelatnya relatif sedikit, cokelat ini mudah hangus bila dilelehkan.

• Cocoa powder
Bubuk coklat, dibuat dari pasta coklat yang sebagian besar lemaknya telah dikeluarkan. Produk ini sangat mudah menyerap uap air dan bau dari produk lain sehingga harus dijaga di tempat kering, dingin dan tertutup rapat. Coklat bubuk dibedakan lagi menjadi coklat bubuk yang rendah lemak (sebagian besar lemaknya telah dihilangkan); coklat bubuk dengan kadar lemak sedang (kandungan lemak sekitar 10 – 22%) ; coklat bubuk untuk minuman atau sarapan (kadar lemak coklat diatas 22%, biasanya digunakan dalam pembuatan susu bubuk coklat); dan coklat bubuk yang diproses dengan teknik Dutch. 

• White chocolate
Coklat putih, merupakan campuran lemak coklat, gula, susu dan vanilla. Tidak mengandung massa (solid) coklat, flavor dihasilkan dari lemak coklat. Selain dikonsumsi langsung juga digunakan untuk dekorasi. Cokelat ini terbuat dari lemak cokelat, gula, dan vanili. Ia tak mengandung cokelat padat. Karena mudah hangus, ada baiknya dimasak atau dilelehkan dengan hati-hati.

• Produk coklat lain seperti berbagai jenis kembang gula coklat.

PENYIMPANAN PRODUK COKLAT

Semua produk coklat, mulai dari kakao (mentah) sampai produk olahannya disimpan ditempat dingin, kering dan dengan sirkulasi udara ruangan yang baik, terlindungi dari cahaya dan bahan-bahan berbau tajam. Suhu 10 – 12oC dengan kelembaban 55 – 65% adalah kondisi ruang penyimpanan coklat yang ideal. 

Coklat yang disimpan pada kondisi penyimpanan yang tidak tepat akan memiliki warna permukaan yang kusam keabuan. Pembentukan spot-spot gula (sugar bloom) disebabkan oleh penyimpanan coklat pada kelembaban tinggi (RH diatas 75%) atau karena terjadinya penumpukan uap air, yang menyebabkan partikel gula berukuran kecil yang ada di permukaan mencair dan kemudian membentuk kristal berukuran besar ketika terjadi proses evaporasi. Spot-spot lemak (fat bloom) terjadi pada kondisi suhu penyimpanan diatas 30oC dan berfluktuasi mengakibatkan lemak mencair lalu mengkristal kembali dengan ukuran yang lebih besar. Fat bloom juga mungkin terjadi karena proses tempering dan pendinginan yang tidak tepat.

Silahkan tinggalkan komentar anda tentang blog saya. Terima kasih

Bread Staling

Oleh: Elvira Syamsir (tulisan asli:  Kulinologi Indonesia)

Dimasa sekarang, siapa yang tidak kenal roti? Kepraktisan dalam penyiapan dan penyajian, serta karakteristik sensoriknya yang khas menyebabkan roti menjadi produk pangan sumber karbohidrat yang populer di masyarakat.

Sayang sekali, produk rerotian mempunyai umur simpan yang relatif singkat. Pernahkah anda mengamati roti selama disimpan? Sejalan dengan meningkatnya umur simpan, terjadi perubahan pada karakteristik sensorik roti. Crumb (bagian dalam roti) yang semula empuk dan halus berubah menjadi kering, keras tetapi rapuh dan mudah hancur. Bagian crust (permukaan atau kulit roti) menjadi lembek dan kerenyahannya menurun. Flavor atau aroma khas roti juga berkurang. Penurunan mutu sensorik tersebut seringkali memberikan persepsi negatif pada konsumen bahwa roti tersebut sudah rusak.

Perubahan mutu sensorik seperti dijelaskan diatas, bukan disebabkan oleh cemaran atau kontaminasi mikroba, tetapi terkait dengan proses perubahan yang disebut bread staling. Proses bread staling merupakan serangkaian proses perubahan fisiko-kimia komponen di dalam roti yang terjadi selama penyimpanan. Apa, kenapa dan bagaimana cara mengatasi bread staling?


Karakteristik Roti

Roti berkualitas baik umumnya memiliki penampakan menarik dengan tekstur yang lembut, jaringan kerangka (matriks)-nya kompak dengan pori yang kecil serta rasa flavor (aroma) khas roti segar. Formula dan proses pengolahan berperan penting dalam membentuk karakteristik roti seperti yang kita kenal.

Tepung (terigu), ragi roti, garam dan air adalah formula minimum yang harus ada untuk memproduksi roti. Ingridien lain yang sering ditambahkan kedalam formula adalah lemak, gula, susu atau padatan susu, anti oksidan, enzim, surfaktan, dan antikapang. Secara garis besar ada tiga hal yang terjadi dalam proses pengolahan roti, yaitu pencampuran dan pembentukan adonan (tahapan mixing dan fermentasi), pembentukan struktur busa di dalam adonan (tahapan moulding, proofing dan baking) dan stabilisasi struktur berpori dengan mengubah konfigurasi molekuler dari komponen polimer pada dinding-dinding sel melalui aplikasi panas (tahapan baking).

Pati merupakan komponen utama dari roti. Pati yang tergelatisasi maupun yang lisis dari granula selama proses baking menjadi faktor utama pembentuk struktur roti. Komponen lainnya yang berperan penting dalam pembentukan struktur roti adalah protein gluten yang berasal dari terigu.

Secara makroskopis dapat dikatakan bahwa roti merupakan produk padat elastis dengan rongga-rongga udara yang terperangkap di dalam bagian padat. Bagian padat terdiri dari dua fase yaitu fase kontinyu dan fase tidak kontinyu. Fase kontinyu merupakan matriks atau jaringan elastis yang dibentuk oleh ikatan silang antar polimer gluten (protein terigu), antar polimer pati (yang lisis dari granula pati, terutama amilosa) dan interaksi keduanya. Granula pati dalam berbagai bentuk (bengkak, tergelatinisasi parsial/sempurna) yang terperangkap dan tersebar di dalam fase kontinyu disebut sebagai fase tidak kontinyu.

Perbedaan panas yang diterima selama proses baking menyebabkan perbedaan karakteristik bagian dalam (crumb) dan bagian luar (kulit, crust) roti. Crust memiliki tekstur yang renyah (crispy) dan mudah retak sementara crumb menjadi lebih lunak, empuk dan elastis.

Terjadinya Bread Staling

Roti kehilangan karakteristik sensoriknya secara bertahap selama penyimpanan. Serangkaian perubahan fisiko-kimia di dalam roti menyebabkan bagian crumb menjadi lebih kering, keras dan rapuh, crust menjadi lembek, alot dan hilang kerenyahannya sementara flavor khas roti hilang. Fenomena perubahan ini secara keseluruhan dikenal dengan istilah bread staling. Bread staling mengindikasikan penurunan tingkat penerimaan konsumen terhadap produk rerotian karena perubahan karakteristik sensorik (tekstur dan flavor) produk dan bukan oleh pertumbuhan mikroba.

Selama staling, distribusi air di dalam roti berubah. Aktivitas air crumb yang lebih tinggi dari crust menyebabkan air berpindah dari bagian crumb ke crust. Perpindahan air ini menyebabkan kadar air crust yang tadinya hanya 2-5% meningkat dan merubah tekstur dari crispy menjadi lunak dan alot. Penampakan crust yang awalnya mengkilap (glossy) juga berubah menjadi opak.

Penguapan komponen flavor yang bersifat volatil, dan/atau pemerangkapan komponen flavor oleh polimer pati (amilosa) menyebabkan hilangnya aroma roti segar selama penyimpanan. Selain itu, beberapa komponen bersifat sangat labil dan jumlahnya menurun selama penyimpanan karena reaksi oksidasi atau reaksi lainnya.

Pengerasan crumb yang terjadi selama staling melibatkan proses yang lebih kompleks. Proses retrogradasi pati (amilopektin) yang berakibat pada meningkatnya kristalisasi atau keteraturan molekuler polimer pati (amilopektin) merupakan penyebab utama dari peningkatan kekerasan crumb. Selain itu, terperangkapnya sebagian air di dalam kristal pati selama proses retrogradasi menyebabkan distribusi air di dalam crumb bergeser dari gluten ke pati (amilopektin) sehingga menurunkan ketersediaan air sebagai plasticizer pada matriks gluten. Hal ini menyebabkan tekstur crumb menjadi kering dan rapuh.

Faktor-Faktor Pengendali Bread Staling

Ada beberapa faktor yang dapat memperlambat laju proses staling, atau dengan kata lain, mempertahankan keempukan roti lebih lama. Intinya adalah dengan memodifikasi pati agar proses retrogradasi berjalan lebih lambat dan/atau dengan mempertahankan keseimbangan air di dalam sistim roti.

Dari aspek ingridien, aditif yang dapat digunakan untuk menghambat atau memperlambat proses staling adalah emulsifier, shortening, enzim dan hidrokoloid. Emulsifier (seperti mono/di asil gliserida atau stearil-2-laktilat) dan shortening (margarin dan ghee) selama proses baking akan membentuk kompleks dengan polimer pati (amilosa dan amilopektin). Pembentukan kompleks ini akan menghambat proses retrogradasi pati yang artinya akan menghambat staling. Perbedaan kemampuan emulsifier untuk membentuk kompleks dengan polimer pati menyebabkan perbedaan kemampuannya dalam menekan laju staling. Penambahan shortening kedalam formula roti dapat memperbaiki pengembangan volume roti dan menghasilkan struktur crumb yang seragam dengan dinding sel (matriks) yang tipis.

Enzim α-amilase tahan panas menghambat staling dengan cara memotong pati (amilopektin) sehingga proses retrogradasi dapat dikurangi dan atau produksi dekstrin yang mengganggu proses retrogradasi pati. Hidrokoloid seperti hidroksi propil metil selulosa (HPMC) dan alginat adalah improver roti yang berfungsi untuk meningkatkan volume roti, memperbaiki tekstur crumb sekaligus juga menghambat proses staling. Berbeda dengan komponen anti staling yang dijelaskan diatas, mekanisme anti staling dari hidrokoloid disebabkan oleh struktur hidrofiliknya yang dapat berikatan dengan air dan mempertahankan air tetap berada di dalam crumb.

Suhu penyimpanan roti juga berpengaruh pada kecepatan terjadinya staling. Penyimpanan roti pada suhu dingin (diatas suhu beku) menyebabkan peningkatan kecepatan staling sementara penyimpanan pada suhu ruang dapat memperlambat kerusakan tekstur crumb karena staling. Proses staling akan berlangsung cepat pada kisaran suhu 0 – 10°C. Berbeda dengan penyimpanan dingin, penyimpanan pada suhu beku (suhu dibawah -5°C) justru dapat memperlambat proses staling.

Roti yang telah mengalami staling masih dapat dikembalikan teksturnya ke kondisi semula dengan memanaskan roti tersebut pada suhu 65 - 100°C. Hanya saja, tekstur yang empuk tersebut akan mengalami pengerasan (proses staling) lebih cepat ketika suhu roti kembali turun ke suhu ruang.

Air juga berperan dalam perubahan yang terjadi selama penyimpanan roti. Pemilihan kondisi penyimpanan atau kemasan hendaklah mencegah proses penguapan air. Pengeringan permukaan roti karena penguapan air ke udara akan mengganggu kesetimbangan air di bagian crust dan crumb sehingga mempercepat terjadinya staling.

Perbedaan aktivitas air yang cukup besar antara bagian crust dan crumb juga berpengaruh pada peningkatan kekerasan crumb selama penyimpanan. Telah dilaporkan bahwa roti yang memiliki crust (kulit) mengalami proses crumb staling lebih cepat dibandingkan roti tanpa crust (kulit).


Silahkan tinggalkan komentar anda tentang blog saya. Terima kasih

Memilih Minyak Goreng yang Baik

Oleh: Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS

Menggoreng adalah proses memasak bahan pangan menggunakan suhu tinggi dengan bantuan minyak sebagai media pengantar panas. Tetapi karena sebagian kecil minyak goreng itu diserap oleh bahan pangan yang digoreng, maka kualitasnya harus baik karena hal ini dapat mempengaruhi citarasa (rasa, flavor, dan aroma) dari makanan yang digoreng.

Kini, di pasaran banyak beredar minyak goreng yang terbuat dari bahan dasar seperti dari minyak kelapa, minyak sawit, minyak kedelai, minyak jagung, dan minyak biji bunga matahari. Bahkan ada juga yang merupakan campuran dua macam minyak.

Selain itu, terdapat pula minyak goreng sawit yang berbeda proses pembuatannya. Produk pertama dikenal sebagai produk single fractionation (fraksinasi tunggal) sedangkan produk kedua adalah produk double fractionation (fraksinasi ganda).

Minimnya pengetahuan para ibu tentang minyak goreng dapat menimbulkan kerugian. Mereka biasanya akan berpedoman pada iklan atau promosi yang dilakukan produsen. Padahal dalam mempromosikan produknya itu, produsen kerapkali melanggar norma dan etika bisnis.


Minyak kelapa, dulunya, merupakan satu-satunya minyak goreng yang digunakan di Indonesia tapi kini pasarannya terdesak oleh minyak sawit. Minyak kelapa mengandung asam lemak jenuh dalam jumlah tinggi sehingga kerap ‘dituduh’ sebagai biang penyakit jantung koroner.

Melalui proses pemanasan dan pengepresan, dari buah sawit akan diperoleh minyak sawit mentah (crude palm oil) berwarna jingga kemerahan karena mengandung beta-karoten (sekitar 400-700 ppm). Minyak mentah ini terdiri atas dua fraksi, yaitu fraksi padat (stearin) dan fraksi cair (olein).

Untuk menjadi minyak goreng, minyak sawit mentah ini mengalami proses rafinasi (refining) pertama, yaitu penetralan, pencucian, penghilangan warna (bleaching), dan penghilangan bau (deodorization) sehingga diperoleh refined bleached deodorizedpalm oil (RBDPO) yang terdiri atas dua fraksi: fraksi padat dan fraksi cair.

Proses rafinasi kedua adalah proses fraksinasi yang sering juga disebut sebagai proses penyaringan. Proses fraksinasi ini bertujuan untuk memisahkan fraksi padat dari fraksi cair. Caranya dilakukan dengan menurunkan suhu minyak (menjadi 20 derajat celsius) baru kemudian disaring sehingga fraksi padat bisa dipisahkan dari fraksi cair.

Fraksi padat yang terkandung dalam fraksi cair itu dikenal sebagai solid fat content (SFC). Minyak goreng sawit yang diperoleh dari proses fraksinasi tunggal pada suhu 10 derajat celcius mengandung sekitar 15-20% SFC, sedangkan yang didapat dari proses fraksinasi ganda hanya mengandung sekitar 0-5% SFC.

Minyak goreng sawit fraksinasi ganda selalu akan berbentuk cair pada suhu rendah karena kandungan SFC-nya juga rendah. Sedangkan minyak goreng sawit fraksinasi tunggal akan membeku apabila direndam dalam air es karena kandungan SFC-nya lebih tinggi.

Dengan kata lain, kandungan asam lemak tak jenuh minyak goreng sawit fraksinasi ganda lebih tinggi ketimbang produk fraksinasi tunggal. Hal ini lalu dikaitkan dengan keadaan minyak (lemak) dalam tubuh. Bahwa minyak yang membeku dalam air es (minyak sawit fraksinasi tunggal) juga akan membeku dalam tubuh manusia. Padahal suhu tubuh adalah 37 derajat celcius. Tentu saja iklan atau promosi semacam ini mengada-ada dan jelas membodohi konsumen.

Sesungguhnya, terlalu berlebihan bila kita mempermasalahkan komposisi asam lemak dari minyak goreng yang digunakan. Misalnya, disebutkan minyak goreng yang mengandung asam lemak tidak jenuh lebih baik dibandingkan minyak yang mengandung asam lemak jenuh.

Pertama, jumlah minyak yang terdapat dalam makanan yang digoreng relatif sedikit (kecuali bahan pangan yang ditumis) dan kedua, dalam proses penggorengan akan terjadi kerusakan asam lemak tidak jenuh karena tingginya suhu selama proses penggorengan (sekitar 150-180 derajat celcius). Sehingga jumlah asam lemak tidak jenuh yang diharapkan akan terkonsumsi, sesungguhnya sangat sedikit.

Penyakit jantung koroner tidak hanya disebabkan karena mengkonsumsi asam lemak jenuh. Banyak faktor lain yang harus diperhatikan. Secara ilmiah telah dibuktikan, konsumsi minyak kelapa maupun minyak sawit, walaupun keduanya mengandung asam lemak jenuh relatif tinggi, tidak menyebabkan atherosclerosis (penyumbatan pembuluh darah) dan penyakit jantung koroner.

Hal ini disebabkan karena asam lemak jenuhnya mengandung rantai karbon medium (tidak seperti halnya lemak hewan) sehingga di dalam tubuh lebih banyak digunakan sebagai sumber energi dan tidak meningkatkan kadar kolesterol (LDL) dalam darah.

Konsumsi asam lemak tak jenuh yang berlebihan akan membahayakan kesehatan karena dapat membentuk lebih banyak senyawa radikal dalam tubuh. Sesuatu yang dapat merusak sel-sel dan jaringan tubuh.

Sebuah penelitian membuktikan, konsumsi asam lemak tidak jenuh yang berlebihan justru akan meningkatkan peluang atherosclerosis lantaran rusaknya pembuluh darah oleh senyawa radikal itu. Para ahli selalu menganjurkan pemakaian asam lemak tidak jenuh tinggi harus disertai pula dengan konsumsi vitamin E yang tinggi pula.

Ikatan Dokter Ahli Jantung di AS menganjurkan agar konsumsi minyak/lemak dibatasi sekitar 30% dari total kalori yang dikonsumsi (sekitar 90-100 g minyak/lemak per hari). Minyak/lemak tersebut harus terdiri dari 10% mengandung asam lemak jenuh (saturated fatty acid – SFA), 10% asam lemak tidak jenuh tunggal (mono-unsaturated fatty acid – MUFA) dan 10% asam lemak tidak jenuh jamak (poly-unsaturated fatty acid – PUFA).

Keterangan ini jelas mengindikasikan, konsumsi asam lemak jenuh dibolehkan dalam jumlah yang wajar. Apalagi bila sumbernya hanya dari makanan yang digoreng dengan jumlah relatif sedikit.

Apalagi kalau ada produsen yang mengklaim bahwa produk minyak gorengnya tak mengandung kolesterol. Ini sudah benar-benar salah kaprah karena semua jenis minyak goreng yang berasal dari bahan nabati, semuanya tidak mengandung kolesterol.

Memilih minyak goreng yang baik sesungguhnya dapat dilakukan secara sederhana. Pertama, lihat kejernihannya (bukan warnanya); kedua, cium baunya apakah tengik atau tidak. Minyak goreng yang baik itu jernih dan tidak berbau tengik.

Minyak goreng yang membeku karena disimpan di ruangan berpendingin akan tampak keputih-putihan. Itu tidak berarti rusak tetapi karena kandungan asam lemak jenuhnya relatif tinggi sehingga lebih cepat membeku dibanding minyak yang lebih banyak mengandung asam lemak tidak jenuh.

Memang terdapat bukti ilmiah bahwa asam lemak tidak jenuh dapat menurunkan kadar kolesterol dan dapat mencegah timbulnya atherosclerosis maupun penyakit jantung koroner. Namun, minyak tersebut harus dikonsumsi dalam keadaan mentah. Bukan sebagai minyak goreng, misalnya sebagai minyak salad (salad oil).

Sumber : Media Indonesia, Minggu 5 September 1999


Silahkan tinggalkan komentar anda tentang blog saya. Terima kasih
Sereal Sarapan
Oleh : Elvira Syamsir, dari berbagai sumber

Sereal sarapan terbuat dari biji-bijian dan didisain untuk dipasarkan kepada kon-sumen sebagai makanan sarapan pagi siap saji. Pada awalnya, produk yang dikembangkan oleh John H. Kellogg pada tahun 1895 ini, ditujukan untuk pasien yang mengalami gangguan pencernaan di Battle Creek Sanatorium USA, guna meningkatkan konsumsi serat pada dietnya.
 
Saat ini, jenis sereal sarapan di pasaran sangat beragam. Ciri khas produk ini adalah teksturnya yang renyah karena kadar airnya rendah. Perbedaan teknik pengolahannya, maka bentuknya juga bervariasi: serpihan (flake), hancuran atau parutan (shredded), mengembang (puffed), panggangan (baked) dan ekstrudat (extruded). 

Pemasakan merupakan tahapan proses penting dalam pembuatan sereal sarapan. Proses ini akan memodifikasi sifat fisik bahan untuk menghasilkan tekstur produk yang diinginkan.

BAHAN BAKU
 
Produk sereal sarapan didasarkan pada formulasi bahan dengan kadar pati yang tinggi. Tiga komponen dasar dalam formulasi produk yaitu serealia, pemanis dan bahan pembentuk flavor. Ingredien lain yang umum digunakan yaitu garam, ragi, pewarna, vitamin, mineral dan pengawet.
 
Pemilihan ingredien dalam formulasi sereal merupakan faktor kritis yang mempengaruhi mutu dan keragaman produk akhir. Agar dapat memilih ingredien secara benar, diperlukan pemahaman proses untuk mengetahui kesesuaian ingredien dengan kondisi proses.
Sereal 
Sereal yang banyak digunakan sebagai bahan baku produk ini adalah jagung, gandum, beras, oat dan barley.  Sereal ini bisa digunakan dalam bentuk utuh, hancuran atau tepung.  Bentuk utuh atau pecah biasanya digunakan untuk membuat produk berbentuk flake, hancuran (shredded) dan mengembang (puffing), sementara bentuk tepung biasa digunakan untuk membuat produk panggangan (baked) dan ekstrudat.
 
Flaked cereal umumnya dibuat dengan menggunakan gandum, beras (utuh atau pecah) atau jagung (utuh atau grits). Tekstur serealia menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan agar dapat diperoleh flake dengan tekstur yang renyah. Jika menggunakan gandum, maka lebih disukai untuk menggunakan varietas gandum lunak (kadar gluten rendah). Warna sereal bukan menjadi faktor pertimbangan karena proses produksi flaked cereal biasanya melibatkan panas yang akan menghasilkan produk yang berwarna kecoklatan.
 
Warna dan tekstur serealia menjadi pertimbangan dalam memilih bahan baku untuk produksi shredded cereal karena produk akhir diinginkan memiliki warna muda cenderung putih dengan tekstur yang lunak. Serealia yang digunakan untuk produk ini contohnya adalah gandum dari varietas gandum lunak berwarna putih.
 
Untuk produk puffed cereal, pemilihan metode akan menentukan jenis serealia yang bisa digunakan. Proses pengembangan dengan metode gun puffing memanfaatkan pemasakan pada suhu dan tekanan tinggi yang diikuti dengan penurunan tekanan secara tiba-tiba sehingga produk mengembang. Jagung, beras, gandum dan oats dapat diolah menjadi puffed cereal dengan metode ini. Tetapi, jika proses pengembangan dilakukan dengan metode oven puffing, diper-lukan bahan yang dapat mengembang dengan pemberian suhu tinggi pada tekanan udara normal. Dua jenis sereal yang bisa memenuhi kriteria ini adalah beras dan jagung.
 
Pemanis 
Pemanis yang digunakan dalam produk sereal sarapan adalah sukrosa, madu dan sirup jagung. Beberapa produk menggunakan konsentrat sari buah sebagai pemanisnya.
 
Pemanis bisa diformulasikan kedalam produk atau ditambahkan di permukaan produk sebagai pelapis. Selain sebagai pemanis, penambahan gula didalam pro-duk juga berfungsi untuk membantu pengikatan antar partikel bahan dan membantu membentuk warna coklat yang diinginkan. Sukrosa dalam bentuk larutan berkonsentrasi 67ºbrix merupakan pemanis yang umum digunakan. Untuk membentuk warna dan rasa manis yang lebih kuat, dapat digunakan sirup invert seperti madu dan sirup jagung.
 
Sebagai bahan pelapis di permukaan produk, gula tidak hanya berfungsi sebagai pemberi rasa manis tetapi juga mempertahankan kerenyahan produk dengan cara menghambat penyerapan air yang berlebihan. Sukrosa juga merupakan gula yang banyak digunakan sebagai bahan pelapis karena viskositasnya rendah sehingga mudah disemprotkan pada produk akhir. Selain itu, sukrosa juga mudah mengkristalisasi dan tidak menyebabkan pencoklatan produk pada saat dikeringkan setelah proses pelapisan.
 
Untuk membentuk lapisan glazing yang jernih dan keras, biasanya digunakan larutan sukrosa yang ditambahkan dengan sirup invert misalnya madu dan sirup jagung. Gula invert berfungsi untuk menghambat proses kristalisasi sukrosa.
 
Bahan Pembentuk Flavor 
Bahan-bahan yang umum ditambahkan sebagai pembentuk flavor produk adalah malt (dibuat dari barley yang dikecambahkan), coklat, kayu manis dan rempah-rempah lainnya serta essence buah. Untuk tujuan memberikan flavor pada produk, malt yang digunakan sebaiknya dari jenis yang tidak memiliki aktivitas enzim (non-diastatic malt) untuk mencegah pelunakan tekstur karena aktivitas enzim. Beberapa ingredien lain yang juga bisa difungsikan sebagai pembentuk flavor adalah kacang-kacangan dan buah kering.
 
Tekanan dan panas selama proses pengolahan sereal sarapan dapat menyebab-kan komponen flavor yang ada didalam bahan menguap dan hilang. Kondisi ini mendorong produsen untuk menambahkan bahan perisa (flavoring) dalam pembuatan sereal sarapan. Bahan perisa bisa ditambahkan kedalam formula bahan yang akan diproses atau ditambahkan kedalam bahan pelapis. Penambahan ke dalam bahan pelapis dilakukan untuk meminimalkan kehilangan komponen flavor. Jika produk akhir tidak dilapis, maka bahan perisa yang akan ditambahkan ke dalam formula hendaknya dipilih yang tahan terhadap suhu dan tekanan yang diberikan selama proses pengolahan.
 
Walaupun digunakan dalam jumlah kecil, garam selalu ada didalam formula sereal sarapan. Garam berfungsi sebagai penguat flavor rasa dan memadukan berbagai komponen yang ada menjadi suatu profil flavor yang khas.
 
Bahan-Bahan Lain

Air biasanya ditambahkan ke dalam formula sereal untuk membantu melarutkan bahan-bahan yang digunakan dan mendispersikannya secara merata keseluruh bagian adonan. Selain itu, air berfungsi untuk menghidrasi pati dan protein dan berfungsi sebagai plasticiser pada saat bahan diproses dengan suhu tinggi (Guy, 1995).
 
Vitamin dan mineral seringkali ditambahkan kedalam sereal sarapan untuk meng-ganti vitamin dan mineral alami dari sereal yang hilang selama proses pengolahan. Proses fortifikasi perlu diperhatikan agar tidak merusak vitamin dan mineral tersebut. Untuk nutrient yang tahan panas seperti mineral, riboflavin dan niasin, penambahan dapat dilakukan didalam formula dasar. Tetapi, jika nutrient yang akan ditambahkan sensitif terhadap panas, seperti vitamin A dan tiamin, penambahan bisa dilakukan dengan menyemprotkannya pada produk akhir.
 
Besarnya stress yang dialami bahan selama proses pencampuran didalam ekstruder menyebabkan produk extruded cereal yang dihasilkan berwarna kusam. Bahan pewarna biasanya digunakan untuk mengatasi masalah tersebut.
 
Kadar air produk serealia yang sangat rendah dapat mempercepat reaksi oksidasi lemak, memperpendek umur simpan dan menyebabkan penyimpangan flavor produk. Pada kadar air rendah, katalis logam yang memicu reaksi oksidasi (misalnya besi) tidak terhidrasi. Bentuk yang tidak terhidrasi ini akan mengkatalisis reaksi oksidasi lemak dengan lebih cepat (Manie, 1999). Antioksidan BHA dan BHT biasanya ditambahkan untuk mencegah ketengikan produk selama penyimpanan.
 
Pengaruh musim kadang-kadang menyebabkan perubahan komposisi komponen yang ada didalam serealia. Perbedaan komposisi terutama perbedaan kandungan pati, jika jumlahnya signifikan dapat mempengaruhi kondisi proses pengolahan. Karena itu, pati kadang-kadang ditambahkan kedalam formula sereal untuk menstandarkan sifat hidrasi dari sereal.

TEKNOLOGI PROSES 
Secara umum, tahapan proses pengolahan sereal sarapan adalah persiapan bahan baku, pembentukan adonan (pemasakan), pembentukan sereal sarapan, penambahan bahan pelapis (sifatnya optional) dan pengemasan.
 
Persiapan Bahan Baku 
Pada tahap awal diperlukan inspeksi dan analisis bahan baku serealia yang akan digunakan. Serealia dapat digunakan dalam bentuk biji utuh atau memerlukan pengolahan lebih lanjut. Seringkali biji utuh dihancurkan dengan menggunakan penggiling besi untuk mengeluarkan lapisan kulit terluar. Selanjutnya, serealia yang telah dihancurkan dan dibuang kulit luarnya dapat digiling menjadi tepung.
 
Pembentukan Adonan (Pemasakan) 
Berdasarkan bentuk bahan bakunya, proses pembentukan adonan dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu proses pembentukan adonan yang disertai dengan pemasakan pada suhu tinggi dengan ekstruder pemasak (cooked extruder).
 
Selama proses pemasakan akan terjadi proses gelatinisasi pati dan pembentukan uap air didalam adonan. Perubahan-perubahan ini menyebabkan perubahan tekstur adonan dan memodifikasi sifat fisik komponen. Perubahan sifat fisik ini dibutuhkan untuk pengembangan tekstur produk akhir (Burrington, 2001). Menurut Warthesen dan Muelenkamp (1997), pemasakan menyebabkan protein terdenaturasi dan kehilangan sifat-sifat fungsionalnya sehingga pengaruh protein terhadap tekstur produk menjadi tidak terlalu penting.
 
(1) Pemasakan bertekanan
Pemasakan dilakukan dengan suhu dan tekanan tinggi, untuk bahan baku sere-alia berbentuk utuh atau pecah yang berukuran besar (contohnya grits). Menurut Guy (1995), tekanan yang digunakan sekitar 30 psi (200 kPa), untuk melunakkan serealia.
 
Pemasakan dilakukan sampai diperoleh kadar air yang cukup tinggi pada akhir proses pemasakan. Kadar air yang diinginkan sekitar 30 – 40% dari berat adonan (Guy, 1995). Suhu dan waktu pemasakan bervariasi tergantung pada jenis produk, cara pemasakan dan jenis serealia yang dimasak.
 
Pada pembuatan flaked cereal dan puffed cereal, gula, garam, malt dan garam dilarutkan kedalam air kemudian dicampur dengan serealia dalam bentuk utuh atau hancur. Campuran ini dimasak sampai diperoleh kadar air adonan sekitar 28 – 32%. Menurut Burrington (2001), dengan teknik pemasakan bertekanan grits jagung membutuhkan waktu pemasakan selama dua jam, biji gandum membutuhkan waktu pemasakan 30 – 35 menit dan beras sekitar satu jam.
 
Untuk shredded cereal, proses pemasakan serealia hanya dilakukan dengan penambahan air dan tanpa penambahan bahan lainnya. Kadar air adonan pada akhir pemasakan yang diinginkan sekitar 40 - 50%, lebih tinggi dari kadar air adonan untuk membuat flaked cereal (Hegenbart, 1995; Guy, 1995).
 
(2) Pemasakan dengan ekstruder pemasak
Pemasakan dengan ekstruder pemasak dilakukan untuk bahan baku serealia berbentuk hancuran berukuran lebih kecil dari grits dan tepung. Produk yang dihasilkan dari pemasakan ekstrusi bisa diolah lebih lanjut menjadi bentuk flake, shred atau puff. Proses pemasakan dengan ekstruder akan membuat proses produksi menjadi lebih efisien karena mengkombinasikan beberapa tahapan proses menjadi satu proses kontinyu.
 
Ekstruder pemasak pada dasarnya terdiri dari satu atau dua ulir yang berputar pada larasnya dan dilengkapi dengan pemanas. Perputaran ulir akan mendorong bahan yang masuk disepanjang laras, mengaduk, mengadon dan memasak bahan sehingga didapatkan adonan massa plastis yang kemudian dikeluarkan melalui bukaan (die). Proses pemasakan dilakukan dengan injeksi uap panas, mantel panas pada laras dan konversi energi mekanis selama proses. Bentuk produk yang dihasilkan dapat divariasikan sesuai dengan bentuk bukaan. Pemo-tongan untaian adonan yang keluar dari bukaan dilakukan dengan menggunakan pisau pemotong sesuai dengan ketebalan produk yang diinginkan (Fellow, 1990).
 
Jumlah air yang digunakan untuk proses pemasakan dengan ekstruder lebih ren-dah dari yang digunakan untuk pemasakan sebelumnya. Jika yang akan dibuat adalah produk flake atau shred, kadar air adonan awal sebaiknya sekitar 25 – 27% sementara jika produk yang akan dibuat adalah puffed cereal maka kadar air adonan awal cukup sekitar 14 – 18% (Guy, 1995).
Ekstrudat yang dihasilkan dari proses pemasakan ekstrusi selanjutnya mengalami tahapan proses pembentukan sereal sarapan yang sama dengan yang dialami oleh sereal yang dimasak dengan pemasakan bertekanan.
 
Pembentukan Sereal Sarapan 

Tahap pembentukan sereal sarapan merupakan tahapan proses yang membedakan bentuk produk yang dihasilkan. Berikut ini akan dijelaskan tahapan pem-bentukan sereal sarapan bentuk flake, shred dan puff.
 
(1) Flaked Cereal dan Shredded Cereal
Setelah mengalami proses pemasakan, serealia tidak bisa langsung ’diflaking’ atau di ’shredding’ karena kadar airnya masih terlalu tinggi. Sereal masak terse-but harus dikeringkan sampai diperoleh kadar air sekitar 10 - 17%, pada suhu pengeringan kurang dari 121ºC (Hogenbart, 1995). Selanjutnya, untuk menyeim-bangkan kadar air didalam setiap partikel serealia, maka adonan tersebut didiam-kan selama beberapa jam pada suhu ruang. Proses ini dikenal dengan istilah tempering.
 
Untuk memperoleh tekstur dan kadar air produk akhir yang diinginkan, diperlu-kan pengontrolan terhadap proses pengeringan dan tempering yang dilakukan setelah proses pemasakan. Kadar air yang terlalu tinggi sebelum proses flaking menyebabkan flake lengket pada permukaan alat dan menghasilkan produk dengan bentuk yang keriput. Pemanasan yang tidak merata selama proses flaking menyebabkan produk menjadi keras dan alot. Sebaliknya, jika kadar air terlalu rendah, maka adonan tidak bisa menempel dengan baik pada permukaan drum sehingga proses flaking tidak terjadi.
 
Proses pembentukan flake dilakukan dengan menggunakan mesin pemipih. Alat ini berbentuk dua silinder yang dibuat dari baja tahan karat (stainless steel). Sereal dilewatkan diantara dua permukaan silinder yang akan memipihkan sereal sesuai dengan ketebalan yang diinginkan. 
 
Proses penghancuran (shredding) dilakukan dengan mesin penghancur yang terbuat dari dua silinder. Salah satu dari silinder tersebut memiliki permukaan yang beralur. Sebuah sisir logam dipasang pada posisi yang berlawanan dengan silinder beralur, dengan satu gigi sisir terdapat disetiap alur. Sereal masak akan dihancurkan oleh gigi sisir dan keluar dari drum dalam bentuk untaian. Untaian yang diperoleh dari beberapa rol penghancur akan disatukan menjadi satu lapisan yang kemudian dipotong-potong sesuai dengan ketebalan yang diingin-kan.
 
Proses pengeringan merupakan tahap akhir dari proses pembuatan flaked atau shredded cereal. Proses pengeringan dilakukan didalam oven dengan menggu-nakan udara panas (proses pemanggangan). Proses pemanggangan dilakukan selama beberapa jam, untuk menurunkan kadar air sehingga diperoleh kadar air produk akhir sekitar 1 – 3% dan untuk membentuk warna dan flavor produk akhir yang diinginkan.
Pengontrolan kadar air produk merupakan faktor kritis untuk mempertahankan keutuhan produk. Kadar air produk akhir lebih dari 3% akan menurunkan kere-nyahan produk sementara kadar air kurang dari 1% menyebabkan produk menjadi rapuh dan mudah hancur. Kedua kondisi ini akan memperpendek umur simpan produk (Burrington, 2001).
 
(2) Puffed Cereal
Proses pengembangan (puffing) sereal bisa dilakukan dengan menggunakan metode oven-puffing atau gun-puffing. Pada metode oven-puffing, adonan yang telah mengalami proses tempering dilewatkan pada drum pemipih untuk sedikit memipihkan bentuknya. Jarak antar permukaan dua rum disetel lebih lebar dari yang digunakan untuk pembentukan flake. Proses ini bertujuan untuk merusak sebagian struktur internal biji sehingga didapatkan pengembangan yang maksi-mum (Hegenbart, 1995). Selanjutnya dilakukan proses pengeringan kembali sampai kadar air sekitar 10%. Setelah kadar air produk sekitar 10%, produk dipanggang pada suhu 180 - 220ºC, sampai kadar air akhir (kurang dari 4%) tercapai (Burrington, 2001).
 
Jika menggunakan metode gun-puffing, proses pengembangan dilakukan dengan memanfaatkan penurunan tekanan secara tiba-tiba pada tahap akhir proses puffing. Suhu proses yang digunakan sekitar 204 - 260ºC pada tekanan 200 psi (Burrington, 2001; Anonim, 1995). Tingginya suhu dan tekanan didalam gun, menyebabkan air yang ada didalam sereal berubah bentuk menjadi uap jenuh. Penurunan tekanan secara tiba-tiba ke tekanan atmosfir menyebabkan air meng-uap dan mengembangkan sereal dengan struktur poros dibagian dalam. Setelah proses pengembangan (puffing), dilakukan proses sortasi untuk mengeluarkan biji yang tidak mengembang, biji hancur dan kulit. Produk selanjutnya dikering-kan untuk menurunkan kadar airnya dari 6% menjadi 2%.
 
Penambahan Bahan Pelapis (Coating)  
Penambahan bahan pelapis merupakan proses yang sifatnya tambahan. Proses pelapisan gula dilakukan dengan menyemprotkan sirup gula kental dan panas ke permukaan sereal didalam sebuah drum berputar yang menghasilkan lapisan kristal gula pada saat mengering.
Lapisan gula bisa menghambat penyerapan air selama penyimpanan. Selain itu, lapisan gula juga menjadi lapisan pemisah antara sereal dengan susu sehingga akan mempertahankan kerenyahan lebih lama ketika produk dicampur dengan susu. Pelapisan dengan larutan dekstrin atau maltodekstrin dapat mempertahan-kan kerenyahan lebih lama tanpa penambahan pemanis (Burrington, 2001).
 
Jika sereal akan ditambahkan dengan perisa, pengawet (antioksidan) atau diforti-fikasi dengan vitamin dan mineral, maka komponen-komponen ini dapat disem-protkan di permukaan produk setelah berakhirnya proses yang menggunakan suhu tinggi (Hazen, 2002; Warthesen dan Muelenkamp, 1997). Penambahan komponen-komponen ini pada awal proses akan menyebabkan rusaknya seba-gian komponen selama proses pemanasan.
 
Pengemasan  
Kemasan primer yang digunakan untuk produk sereal sarapan sebaiknya bersifat kedap air dan udara. Beberapa kemasan yang dapat digunakan adalah kemasan film seperti high density polietilen (HDPE) dan polietilen (PE) yang dilapis dengan alumunium foil. Kemasan primer ini ditempatkan dalam kemasan sekunder yang terbuat dari kotak karton, kaleng atau wadah plastik rigid. Pemilihan kemasan sekunder sangat tergantung pada produk akhir dan target pemasaran. Untuk meningkatkan ketahanan produk kemasan terhadap tekanan mekanis, maka kedalam kemasan primer dapat diisi dengan gas inert, misalnya nitrogen, agar kemasan lebih padat (menggembung) dan tahan terhadap tekanan mekanis.
 
RENYAH LEBIH LAMA 
Salah satu karakteristik produk sereal sarapan yang diinginkan oleh konsumen adalah kerenyahannya dapat bertahan lebih lama setelah penambahan susu. Kondisi ini dapat dicapai dengan menggunakan bahan baku dengan berat molekul (BM) yang lebih tinggi seperti sirup jagung dengan derajat DE yang rendah. Bahan yang memiliki BM tinggi akan memiliki suhu transisi gelas (Tg) yang tinggi. Ketika sereal dimasukkan kedalam susu, proses transisi gelas (perubahan tekstur dari kondisi keras seperti gelas menjadi cairan yang kental atau viscous seperti karet (rubbery) sebelum bahan mencair) akan berlangsung ketika sereal menyerap sejumlah air. Pada komponen dengan BM tinggi, proses transisi gelas berlangsung pada kadar air yang lebih tinggi dan ini berarti bahwa kerenyahannya dapat dipertahankan lebih lama (Mannie, 1999).
 
Jenis pati juga bisa mempengaruhi karakteristik sereal ketika dimasukkan ke dalam susu. Pati yang telah mengalami proses gelatinisasi akan menyerap air lebih cepat sehingga lebih cepat lembek dibandingkan dengan pati yang mengalami proses retrogradasi. Kristalisasi pati yang terjadi selama proses retrogradasi menyebabkan peningkatan suhu transisi gelas. Hal ini menyebabkan pati yang mengalami retrogradasi membutuhkan jumlah air yang lebih banyak untuk menjadi lembek (Mannie, 1999).
Silahkan tinggalkan komentar anda tentang blog saya. Terima kasih