oleh Dr Ratih Dewanti-Hariyadi
PENYAKIT karena pangan (foodborne diseases)
yang lebih dikenal sebagai keracunan makanan, dapat disebabkan oleh
patogen (virus, bakteri, protozoa, cacing) maupun bahan kimia (residu
pestisida, logam berat, bahan tambahan ilegal, mikotoksin, dan
sebagainya). Meskipun di Indonesia kasus-kasus penyakit asal pangan
belum lengkap datanya, kasus keracunan pangan bisa disebut fenomena
gunung es karena pangan dikonsumsi setidaknya tiga kali sehari.
Apa
penyebab utama penyakit asal pangan di Indonesia? Mengingat di negara
maju yang bersanitasi tinggi masih melaporkan patogen sebagai penyebab
utama kasus penyakit asal pangan, bisa diasumsikan bahwa kemungkinan
besar di Indonesia pun didominasi patogen asal pangan (foodborne pathogen).
Penyakit
akibat makanan tercemar patogen umumnya ditandai dengan terganggunya
fungsi-fungsi saluran pencernaan. Gejala yang lazim muncul adalah diare.
Di Indonesia banyak kasus diare ringan tidak dilaporkan, bahkan oleh
sekelompok masyarakat diare tidak dianggap sebagai penyakit. Diare pada
anak-anak misalnya, sering diartikan sebagai "tanda-tanda" anak mau
tumbuh.
Padahal
diare juga bisa bersifat fatal, kolera misalnya. Jadi diare sebenarnya
tidak dapat dipandang sebelah mata. Diare yang berlebihan menguras
cairan tubuh dan beberapa di antaranya diikuti sekuelae atau gejala ikutan lainnya yang fatal.
Beberapa
patogen menimbulkan penyakit di organ tubuh lain di samping saluran
pencernaan. Gagal ginjal, keguguran kandungan, dan bayi lahir mati (stillbirth) misalnya, dapat disebabkan oleh patogen asal pangan.
Salah
satu contoh adalah virus polio, lazim ditemukan dalam susu mentah dan
banyak menyebabkan penyakit sebelum konsep pasteurisasi (pengawetan
dengan panas) dikenal.
Saat
ini, virus asal pangan yang paling dominan di negara-negara maju adalah
virus Norwalk-like yang sering menyebabkan diare melalui konsumsi salad
maupun kerang-kerangan.
***
SECARA umum penyakit karena patogen asal pangan digolongkan dalam dua kelompok yaitu infeksi dan intoksikasi.
Infeksi
adalah penyakit asal pangan yang paling banyak diketahui dan telah lama
dipelajari. Infeksi terjadi karena masuknya patogen hidup seperti
virus, bakteri, protozoa, dan cacing melalui bahan pangan. Patogen yang
bertahan melalui asam lambung dan mencapai usus akan berusaha memulai
komunitas baru.
Beberapa
bakteri sebenarnya tidak tahan pH lambung. Namun, jika terdapat dalam
jumlah besar atau terlindung oleh kandungan lemak yang tinggi pada
makanan, bakteri yang berhasil mencapai usus akan berusaha hidup dan
mengganggu kesehatan manusia sebagai inangnya.
Begitu
masuk tubuh, virus akan mengintegrasikan materi genetiknya ke dalam DNA
sel manusia. Jika berhasil mengekspresikan gen, membuat cukup kopi,
serta selubung protein, virus dapat memperbanyak diri dan melumpuhkan
sel manusia yang ditumpanginya.
Bakteri
umumnya berusaha menempel dan memperbanyak diri pada usus sebelum
mengganggu sistem saluran usus. Sebagian bakteri menempel melalui
fimbriae spesifik pada usus manusia (juga hewan) dan kemudian mengganggu
sistem pencernaan. Hal ini terjadi pada bakteri-bakteri kelompok Escherichia coli Enteropatogenik, Campylobacter jejuni, Yersinia enterocolitica, dan lain-lain.
Beberapa
bakteri mengganggu sistem absorbsi cairan dalam usus melalui toksin
yang dibentuk dalam saluran usus. Inilah yang disebut toksoinfeksi dan
contohnya adalah diare oleh Escherichia coli Enterotoksigenik (ECET) maupun kolera oleh Vibrio cholerae.
Salah
satu toksin ECET dan toksin kolera bahkan memiliki kesamaan secara
imunokimia, sehingga antibodi yang dihasilkan saling menetralisir satu
sama lain. Toksin LT dari ECET dan toksin kolera bekerja mengganggu
keluar masuknya air dan mineral pada usus.
Beberapa
jenis bakteri dan toksin bakteri lain tidak hanya beroperasi di usus,
tetapi masuk aliran darah dan mengganggu fungsi organ tubuh lainnya.
Salmonella typhi,
bakteri penyebab demam tifoid (tifus) misalnya, mampu menembus dinding
usus dan dapat ikut aliran darah, bahkan "bersembunyi" dalam sel
makrofag manusia yang mestinya bertugas menelan dan membunuhnya. Karena
sifatnya ini, gejala tifus dapat bersifat sistemik, menjalar di berbagai
organ tubuh. Keberadaan S typhi dalam makanan hampir dapat
dipastikan berasal dari kontaminasi makanan oleh pekerja atau air yang
mengandung cemaran kotoran manusia.
Listeria monocytogenes
juga demikian. Bakteri yang suka suhu dingin ini bahkan dapat menembus
plasenta sehingga bisa terjadi keguguran maupun bayi lahir mati.
***
KASUS
keracunan dengan tingkat fatalitas 33,3% banyak dilaporkan di Kanada
dan Amerika. Bahan pangan yang diduga menjadi penyebabnya adalah keju
lunak (soft cheese) dari susu tak dipasteurisasi.
Kasus
pertama yang dilaporkan banyak merenggut nyawa ibu dan bayi terjadi di
California karena konsumsi keju lunak Jalisco, sejenis keju ala Meksiko.
Karena itu, di beberapa negara maju ibu hamil disarankan tidak
mengonsumsi keju lunak.
Kasus listeriosis di Kanada yang memakan banyak korban juga pernah diakibatkan oleh konsumsi coleslaw (salad kubis) yang bahan bakunya tercemar bakteri L monocytogenes.
Mekanisme
lain bakteri mengganggu kesehatan adalah dengan tidak meninggalkan
usus, tetapi menghasilkan toksin yang dapat menembus usus dan mengganggu
fungsi organ lainnya. Contohnya adalah Escherichia coli golongan Escherichia coli Enterohemoragik (ECEH). Kelompok bakteri ini menghasilkan toksin Shiga yang menyerupai toksin Shigella dysenteriae, yang juga disebut Verotoxin karena membunuh sel kultur jaringan ginjal kera hijau afrika (Vero).
Keracunan
bakteri ini menyebabkan gejala diare berdarah tanpa atau dengan demam
ringan. Pada anak balita, gejala dapat diikuti gagal ginjal karena
toksin Shiga dapat merusak organ ginjal. Beberapa korban dilaporkan
mengalami gagal ginjal dan seumur hidupnya harus menjalani cuci darah.
Awal
tahun 80-an, keracunan oleh kelompok bakteri ini dikaitkan dengan
konsumsi hamburger yang tidak cukup diolah (dipanaskan), namun
belakangan banyak dilaporkan keracunan ECEH melalui air, susu, bahkan cider apel. Keracunan ECEH juga terjadi pada ratusan anak sekolah di Jepang yang makan siangnya tercemar bakteri ini.
Infeksi
parasit seperti protozoa dan cacing umumnya karena tertelannya cyst
(bentuk dorman) patogen melalui makanan. Kondisi usus yang relatif ideal
dengan nutrien, pH maupun suhu, merangsang cyst membentuk sel utuhnya.
Beberapa cacing dapat menginfeksi dan sekaligus hidup pada organ selain
usus seperti hati.
Cyst
protozoa maupun cacing tidak tampak mata dan dapat mencemari makanan
asal tumbuhan maupun hewan. Di dalam makanan, cyst bisa dihilangkan
melalui pemanasan maupun pembekuan. Membekukan daging selama lima hari
pada suhu -20oC misalnya, dapat menghilangkan cyst protozoa dan cacing.
***
INTOKSIKASI
adalah penyakit akibat masuknya toksin melalui bahan pangan ke dalam
tubuh. Ada toksin alami dari bahan pangan tersebut, dari bakteri atau
kapang, lingkungan, atau pestisida.
Peristiwa
intoksikasi toksin bakteri berbeda dengan mekanisme infeksi. Dalam hal
intoksikasi pangan oleh toksin bakteri, bakterinya tidak harus ada di
bahan pangan. Beberapa jenis bakteri yang tumbuh dan berkembang biak
dalam makanan dapat membentuk toksin. Bila makanan ditelan, toksin dapat
mengganggu kesehatan.
Berbeda
dengan peristiwa infeksi di mana sel bakteri harus berkembang biak
lebih dahulu, intoksikasi tidak memerlukan tumbuhnya bakteri dalam tubuh
manusia. Karena itu, onset time (jarak waktu konsumsi dan timbulnya gejala penyakit) intoksikasi umumnya lebih singkat daripada infeksi.
Toksin yang dihasilkan bakteri dapat berupa toksin emetik (dihasilkan bakteri Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus), toksin penyebab diare (B cereus), sampai toksin penyerang sistem saraf seperti botulin dari Clostridium botulinum.
Meskipun toksin emetik S aureus dan B cereus sama-sama protein dan membuat muntah yang mengonsumsinya, kedua toksin dilaporkan sebagai dua protein berbeda.
Toksin emetik S aureus
terdiri dari berbagai jenis dan umumnya tahan pemanasan. Sekali
terbentuk dalam makanan, sukar dihilangkan. Kasus keracunan karena
toksin ini banyak diakibatkan oleh konsumsi sandwich isi daging olahan saat piknik, karena daging dipersiapkan beberapa jam sebelum dikonsumsi. Sumber S aureus
terbesar adalah tangan dan rongga hidung, sehingga kebiasaan buruk
seperti menyentuh hidung, batuk, atau menggaruk muka saat mengolah
makanan harus dihindarkan.
Botulin,
juga dikenal sebagai botox, adalah toksin bakteri paling mematikan yang
dapat terbentuk pada makanan kaleng yang tidak diproses dengan benar
atau cukup dipanasi. Bakteri penghasil botulin, C botulinum,
banyak terdapat di tanah dan mungkin mencemari hasil pertanian maupun
peternakan. Sifatnya yang anaerob obligat (hanya tumbuh dalam kondisi
bebas oksigen) membuatnya tumbuh dan berkembang biak dalam makanan
kaleng.
Intoksikasi dapat pula disebabkan oleh berbagai toksin kapang atau jamur (mikotoksin)
yang terbentuk dalam bahan pangan. Biji-bijian yang tidak dipanen pada
saat tepat, dikeringkan asal-asalan atau tidak disimpan dengan baik bisa
menumbuhkan kapang.
Jika
tersedia gizi, air, dan suhu yang tepat, maka kapang dapat membentuk
metabolit sekunder berupa toksin. Toksin kapang, yang umumnya bukan
protein, sangat tahan panas dan perlu suhu amat tinggi 150-2000C untuk
memusnahkannya. Artinya, adanya mikotoksin dalam bahan baku tidak dapat
dihilangkan melalui proses pengolahan apa pun.
Salah satu mikotoksin yang paling banyak diketahui karakteristiknya adalah aflatoksin yang dihasilkan Aspergillus flavus. Aflatoksin dapat mengakibatkan kanker hati sehingga kadarnya dalam makanan harus diupayakan serendah mungkin.
Peraturan
internasional menurut Codex, mengharuskan kandungan aflatoksin maksimal
15 ppb pada biji-bijian. Aflatoksin bisa ditemukan pada
kacang-kacangan, biji jagung, dan produk olahannya. Aflatoksin juga
mungkin terdapat pada susu sapi yang pakannya mengandung aflatoksin.
Kompas 15 Des 2002Silahkan tinggalkan komentar anda tentang blog saya.
Terima kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggakan komentar anda dibawah ini...
Terima kasih...